Masjid adalah rumah Allah ‘Azza wa Jalla yang suci, oleh karenanya
setiap muslim mesti memperhatikan perilakunya ketika di dalamnya. Agar
tidak terjadi kesan bahwa mereka lebih menghormati tempat lain dibanding
masjid. Diantara akhlak-akhlak tersebut adalah:
Dalam Keadaan
Suci Dari HadatsIni keadaan terbaik walalu pun ada sebagian imam kaum
muslimin yang membolehkan orang yang berhadats (termasuk hadats besar)
untuk masuk dan berdiam di masjid, seperti Abdullah bin ‘Abbas, Imam
Said bin Jubeir, Imam Ibnu Hazm, dan lainnya. Tetapi mereka sepakat
keadaan suci adalah lebih utama daei semua keadaan.
Allah Ta’ala berfirman:
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“
… Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At Taubah
(9): 108)
Imam Abu Ja’far Ath Thabari menerangkan bahwa pujian
Allah Ta’ala kepada orang yang suka membersihkan dirinya dalam ayat ini
adalah kepada orang beristinja dengan air saat buang air kecil dan buang
air besar, ada juga yang mengatakan orang yang mandi, dan juga
berwudhu. (Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 14/482-490)
Abul
‘Aliyah mengatakan: bersih dari dosa. Al A’masy mengatakan: bersih dari
dosa dan suci dari syirik. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim,
4/216)
Membaca doa masuk masjid dan doa ketika hendak keluar
masjid Dari Abu Usaid Radhiallahu ‘Anhu, katanya: bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ
الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
Jika
salah seorang kamu masuk ke masjid maka bacalah: Allahummaftah liy
abwaaba rahmatik (Ya Allah bukalah untukku RahmatMu). Dan jika hendak
keluar bacalah: Allahumma inniy as’aluka min fadhlik (Ya Allah, aku
memohon kepadaMu karuniaMu). (HR. Muslim No. 713, Ibnu Hibban No. 2048,
2049, Ibnu Majah No. 772, An Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No.
177, Ahmad No. 16057, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 1665)
Memakai
pakaian yang pantas dan baikApa yang kita lakukan ketika ingin datang
ke rumah saudara yang jauh atau tempat rekreasi? Biasanya akan memakai
pakaian yang terbaik bukan? Bahkan mungkin beli yang baru. Nah, masjid
lebih layak untuk disikapi demikian. Jadi, tidak pantas jika kita
memakai pakaian yang sudah tidak layak pakai, kotor, bau, dan juga tidak
menutup aurat secara sempurna di dalam masjid.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا
بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid,
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al A’raf (7): 31)
Memakai
wangi-wangian dan jauhi bau yang tidak sedap di masjidMemakai minyak
wangi –diutamakan yang tidak beralkohol- adalah sunnah apalagi ketika
hendak ke masjid. Ini juga berlaku bagi masjidnya. Sebaliknya, hendaknya
menjauhi aroma yang tidak sedap pada mulut kita ketika memasukinya
seperti petai, jengkol, bawang merah, bawang putih, termasuk rokok.
Semua ini demi menjaga kekhusyu’an selama berada di dalam masjid.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِبِنَاءِ
الْمَسَاجِدِ فِي الدُّورِ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ
Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membangun
masjid-masjid di negeri-negeri kami, Beliau memerintahkan agar
dibersihkan dan diberikan harum-haruman. (HR. Ahmad No. 26429,
dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad No.
26429)
Sunahnya memakai minyak wangi hanya berlaku buat kaum
laki-laki, kalau untuk kaum wanita tidak demikian, justru hendaknya
dihindari wangi-wangian agar dia terlindung dari orang-orang usil ketika
berjalan ke masjid.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Siapa saja perempuan yang
memakai harum-haruman, maka janganlah ia menghadiri (shalat) ‘Isya (di
masjid) bersama kami.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan An Nasa’i dari
Abu Hurairah).
Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Wanita mana saja yang
memakai minyak wangi kemudian ia keluar, lalu ia melewati orang banyak
supaya mereka dapat mencium baunya, maka dia itu adalah perempuan
pezina.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim,
Ibnu Khuzaimah, dan Thahawi).
Tapi jika bau badannya sangat
menyengat sehingga mengganggu jamaah yang lain, hendaknya cukup baginya
memakai sesuatu yang sekadar bisa meredamnya, tapi tidak sampai wanginya
kemana-mana. Ada pun bau tidak sedap dari bawang dan semisalnya yang
menyengat, juga hendaknya dijauhi.
Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata ketika khutbah Jumat:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أُرَاهُمَا
إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الثُّومُ وَهَذَا الْبَصَلُ وَلَقَدْ كُنْتُ
أَرَى الرَّجُلَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُوجَدُ رِيحُهُ مِنْهُ فَيُؤْخَذُ بِيَدِهِ حَتَّى يُخْرَجَ
إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ كَانَ آكِلَهَا لَا بُدَّ فَلْيُمِتْهَا طَبْخًا
Wahai
manusia, kalian memakan dua macam tumbuhan yang saya tidak melihatnya
melainkan hal yang busuk yakni bawang putih dan bawang merah. Saya telah
melihat pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang
laki-laki yang jika ada aroma itu, maka dia akan diambil tangannya
sampai keluar menuju Baqi’ (untuk bersuci, pen), maka siapa saja yang
memakannya hendaknya dia melenyapkan baunya dengan memasaknya. (HR.
Muslim No. 567, Ibnu Majah No. 1014, Ahmad No. 16247)
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bercerita bahwa ketika perang Khaibar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَة يَعْنِي الثَّوْم فَلَا يَقْرَبَنَّ الْمَسَاجِد
Barangsiapa yang memakan tumbuhan ini (yakni bawang putih) maka jangan dekati masjid-masjid kami. (HR. Muslim No. 561)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا
تَصْرِيح يَنْهَى مَنْ أَكَلَ الثَّوْم وَنَحْوه عَنْ دُخُول كُلّ مَسْجِد
، وَهَذَا مَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة إِلَّا مَا حَكَاهُ الْقَاضِي
عِيَاض عَنْ بَعْض الْعُلَمَاء : أَنَّ النَّهْي خَاصّ فِي مَسْجِد
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْض رِوَايَات مُسْلِم : ( فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدنَا(
Ini adalah penjelasan tentang larangan bagi siapa
saja yang makan bawang putih dan semisalnya untuk memasuki setiap
masjid, inilah madzhab semua ulama, kecuali apa yang diceritakan oleh Al
Qadhi ‘Iyyadh dari sebagian ulama: bahwa larangan dikhususkan di masjid
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja, karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyebutkan dalam sebagian riwayat: “jangan dekati
masjid kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/324)[1]
Berjalan
Ke masjid dengan tenangTidak dibenarkan berjalan tergesa-gesa apalagi
berlari-lari menuju masjid walaupun kita dalam keadaan terlambat
(masbuk). Sebab berjalan menuju shalat, itu juga terhitung bagian dari
shalat.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا
أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ
وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
Jika sudah iqamat untuk shalat, maka janganlah
mendatanginya dengan tergesa-gesa dan tidak sopan, hendaknya kalian
bersikap tenang. Apa yang kamu dapatkan dari shalat, maka lakukanlah
seperti itu, ada pun yang tertinggal maka sempurnakanlah kekurangannya.
(HR. Bukhari No. 908, Muslim (151) (602) )
Dalam hadits lain ada kalimat tambahan:
فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ
Sesungguhnya
jika kalian sedang menuju shalat itu juga termasuk shalat. (HR. Muslim
(152) (602), Ahmad No. 9932, 10859, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No.
442, Ibnu Hibban No. 2148 )
Dalam riwayat lain, juga dari Abu Qatadah:
بَيْنَمَا
نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَسَمِعَ جَلَبَةً فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا اسْتَعْجَلْنَا إِلَى
الصَّلَاةِ قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ
فَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا سَبَقَكُمْ
فَأَتِمُّوا
Ketika mau duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, beliau mendengar kegaduhan, lalu bersabda: “Apa yang
terjadi pada kalian?” Mereka menjawab: “Kami terburu-buru untuk
mengerjakan shalat.” Beliau bersabda: “Jangan kalian lakukan itu, jika
kalian mendatangi shalat maka wajib bagi kalian untuk tenang, apa saja
yang kalian dapati dari shalat maka ikuitilah, ada pun yang tertinggal
maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari No. 635, Muslim (155) (603) )
Melakukan
Shalat Tahiyatul Masjid Sebanyak Dua rakaat[2]Dari Abu Qatadah
Radhiallahu ’Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Jika
salah seorang kalian masuk ke masjid maka hendaknya dia shalat dua
rakaat sebelum dia duduk. (HR. Bukhari No. 444, Muslim (69) (714), At
Tirmidzi No. 316, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 809, Ahmad No.
22576, 22582, 22631, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 275, dll)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ
عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا اسْتَحَبُّوا إِذَا دَخَلَ
الرَّجُلُ الْمَسْجِدَ أَنْ لَا يَجْلِسَ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ
Para sahabat kami mengamalkan
hadits ini, menurut mereka sunnah bagi seorang yang masuk ke masjid
untuk tidak duduk dulu sampai dia menunaikan shalat dua rakaat, kecuali
dia memiliki ‘udzur. (Lihat Sunan At Timridzi No. 316)
Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu, mengutip dari Imam Muhammad bin Hasan Radihiallahu ‘Anhu:
هذا تطوع وهو حسن وليس بواجب
“Ini sunah dan bagus, bukan wajib.” (Al Muwaththa No. 275)[3]
Berkata Dr. Taqiyuddin An Nadwi –pentahqiq kitab Al Muwaththa’:
هو أمر ندب بالإجماع سوى أهل الظاهر فقالوا بالوجوب
“Ini adalah perkara sunah menurut ijma’, kecuali menurut kelompok Ahli Zhahir (tekstualist) , mereka mengatakan wajib.”
Lalu beliau mengomentari ucapan Imam Muhammad bin Hasan, “ … bukan wajib “:
وليس
بواجب لأن النبي صلى الله عليه و سلم رأى رجلا يتخطى رقاب الناس فأمره
بالجلوس ولم يأمره بالصلاة كذا ذكره الطحاوي . وقال زيد بن أسلم : كان
الصحابة يدخلون المسجد ثم يخرجون ولا يصلون وقال : رأيت ابن عمر يفعله وكذا
سالم ابنه وكان القاسم بن محمد يدخل المسجد فيجلس ولا يصلي ذكره الزرقاني
“Bukan
wajib ..” karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat
seorang laki-laki yang melangkahi punggung manusia, lalu Beliau
memerintahkan laki-laki itu untuk duduk, dan dia tidak memerintahkannya
untuk shalat. Demikian disebutkan oleh Ath Thahawi. Zaid bin Aslam
mengatakan: “Dahulu para sahabat memasuki masjid kemudian keluar lagi
dan mereka tidak shalat.” Dia (Zaid) berkata: “Aku melihat Ibnu Umar
melakukannya, demikian juga Salim – anaknya-, dan juga Al Qasim bin
Muhammad memasuki masjid dia duduk dan tidak shalat. Ini disebutkan oleh
Az Zarqani. (Lihat Al Muwaththa’ No. 275, Catatan kaki No. 10. Cet. 1.
1413H. Darul Qalam, Damaskus)
Kepada siapakah Tahiyatul Masjid Disunnahkan?
Tahiyatul
masjid disunnahkan bagi yang masuk ke masjid dalam keadaan berwudhu,
sebagain ulama menambahkan: serta bermaksud duduk di dalamnya, bukan
sekedar lewat. Sebagian lain mengatakan walaupun cuma lewat, tetap
sunah.
Tertulis dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
يَرَى
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُسَنُّ لِكُل مَنْ يَدْخُل مَسْجِدًا
غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ - يُرِيدُ الْجُلُوسَ بِهِ لاَ الْمُرُورَ
فِيهِ ، وَكَانَ مُتَوَضِّئًا - أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ
قَبْل الْجُلُوسِ . وَالأَْصْل فِيهِ حَدِيثٌ رَوَاهُ أَبُو قَتَادَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَال : إِذَا دَخَل أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ
حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ وَمَنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْهُمَا لِحَدَثٍ
أَوْ غَيْرِهِ يَقُول نَدْبًا : سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ،
وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْل وَلاَ
قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ . فَإِنَّهَا تَعْدِل
رَكْعَتَيْنِ كَمَا فِي الأَْذْكَارِ
Mayoritas ahli fiqih
berpendapat bahwa disunnahkan bagi siapa saja yang masuk ke dalam masjid
selain masjidil haram –yang berkehendak duduk bukan cuma lewat[4] dan
dia dalam keadaan berwudhu- untuk shalat dua rakaat atau lebih[5]
sebelum duduk. Dasarnya adalah hadits diriwayatkan Abu Qatadah
Radhiallahu ‘Anhu: bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: Jika salah seorang kalian masuk ke masjid maka hendaknya dia
shalat dua rakaat sebelum dia duduk. Dan, siapa saja yang terhalang
melakukan keduanya (shalat dan duduk) disebabkan hadats atau selainnya,
disunahkan mengucapkan: Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah
wallahu akbar wa laa haulaa wa laa quwwata illa billahil ‘Aliyyil
‘Azhim.[6] Sesungguhnya itu sebanding dengan dua rakaat tersebut
sebagaimana disebutkan dalam Al Adzkar. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 10/305)
Walaupun Sudah Duduk Tetap Sunah
Di
antara kita mungkin pernah lupa tahiyatul masjid, lalu langsung duduk.
Sering kali hal itu membuat sebagian kita ragu-ragu; bolehkah tahiyatul
masjid dilakukan padahal kita sudah duduk?
Jawabnya: boleh, dan
tetap sunah. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya,
dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu katanya:
دخلت المسجد
فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم جالس وحده قال يا أبا ذر إن للمسجد تحية
وإن تحيته ركعتان فقم فاركعهما قال فقمت فركعتهما
Saya masuk ke
masjid ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk
sendirian. Beliau bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya untuk masjid
itu sambutannya, sambutan bagi masjid adalah shalat dua rakaat. Maka
bangunlah dan shalatlah dua rakaat!” Abu Dzar berkata: “Maka saya bangun
dan shalat dua rakaat.” (HR. Ibnu Hibban No. 361)
Hadits ini
sangat lemah, lantaran dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Hisyam bin
Yahya bin Yahya Al Ghathafani . Imam Abu Zur’ah mengatakan tentang dia:
Kadzdzaab (pembohong). (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin No.
133. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam Abu Hatim dan lainnya
mengatakan: laisa bitsiqah (bukan orang yang bisa dipercaya). (Imam Adz
Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhu’afa no. 201)
Imam Abu hatim juga
mengatakan tentang Ibrahim bin Hisyam: Kadzdzaab (pembohong). Lalu Ali
bin Al Husain bin Al Junaid berkata: “Abu Hatim benar, hendaknya jangan
mengambil hadits darinya (Ibrahim bin Hisyam).” (Imam Adz Dzahabi,
Mizanul I’tidal No. 244)
Namun dalam riwayat lain, diriwayatkan secara shahih dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
جَاءَ
رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ
فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
Datang seorang laki-laki dan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di hadapan manusia pada
hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?”
orang itu menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah
dua rakaat.” (HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)
Perkataan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bangunlah ..” menunjukkan bahwa
sebelumnya orang tersebut telah duduk lebih dahulu.
Oleh karena
itu para ulama mengatakan bahwa terlanjur “duduk” tidaklah membuat
kesunahan tahiyatul masjid menjadi gugur. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al
Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/228)
Tidak mengeraskan suara
tanpa keperluan yang dibenarkanTidak sedikit manusia yang mengeraskan
suara di masjid seperti teriak-teriak tidak karuan, atau memanggil
temannya, bahkan bergurau yang melahirkan tawa yang membahana. Sehingga
ini mengganggu orang lain yang sedang ibadah. Jangankan
perbuatan-perbuatan seperti ini, membaca Al Quran saja tidak boleh
keras-keras hingga mengganggu orang lain, kecuali jika mengeraskan suara
tersebut memang diperlukan seperti saat mengajarkan Al Quran dan
ta’lim.
Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:
اعْتَكَفَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ
فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا
إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي
الصَّلَاةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam i’tikaf di
masjid, beliau mendengar manusia mengeraskan suara ketika membaca Al
Quran, maka dia membuka tirai dan bersabda: “ Ketahuilah sesungguhnya
setiap kalian ini bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan kalian saling
mengganggu satu sama lain, dan jangan saling tinggikan suara kalian
dalam membaca Al Quran atau di dalam shalat.” (HR. Abu Daud No. 1332,
Ahmad No. 11896, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4216, An Nasa’i
dalam As Sunan Al Kubra No. 8092. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
isnadnya shahih sesuai syarat syaikhan/Bukhari-Muslim. Lihat Tahqiq
Musnad Ahmad No. 11896)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
رفع الصوت فيها: يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم.
Mengeraskan
suara di dalam masjid. Diharamkan mengeraskan suara sampai mengganggu
orang yang sedang shalat, walau yang dibaca itu adalah Al Quran.
Dikecualikan jika itui terjadi ketika mempelajari suatu ilmu. (Fiqhus
Sunnah, 1/251)
Al Qadhi ‘Iyyadh Rahimahullah mengatakan:
قَالَ
مَالِك وَجَمَاعَة مِنْ الْعُلَمَاء : يُكْرَه رَفْع الصَّوْت فِي
الْمَسْجِد بِالْعِلْمِ وَغَيْره ، وَأَجَازَ أَبُو حَنِيفَة - رَحِمَهُ
اللَّه تَعَالَى - وَمُحَمَّد بْن مَسْلَمَة مِنْ أَصْحَاب مَالِك -
رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - رَفْع الصَّوْت فِيهِ بِالْعِلْمِ
وَالْخُصُومَة وَغَيْر ذَلِكَ مِمَّا يَحْتَاج إِلَيْهِ النَّاس ؛
لِأَنَّهُ مَجْمَعهمْ وَلَا بُدّ لَهُمْ مِنْهُ .
Imam Malik dan
segolongan ulama mengatakan: dimakruhkan meninggikan suara di masjid
baik ketika mempelajari ilmu dan selainnya, sedangkan Imam Abu Hanifah
Rahimahullah Ta’ala, Muhammad bin Maslamah dari sahabat Imam Malik
–Rahimahullah Ta’ala- membolehkan mengeraskan suara di masjid ketika
mempelajari ilmu, perdebatan, dan selainnya, yang memang dibutuhkan
manusia untuk melakukannya, karena berkumpulnya mereka mengharuskan
mereka untuk itu. (Al Qadhi ‘Iyyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih
Muslim, 2/279. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
2/333. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Nah, intinya jangan berisik dan
membuat kegaduhan yang tanpa diperlukan di masjid apalagi main musik dan
nyanyi-nyanyi di masjid. Sebab itu semua saja menyerupai non muslim,
karena mereka bermain musik dan bernyanyi di tempat ibadah mereka, maka
umat Islam wajib berbeda dengan mereka.
Hal-Hal Yang Dibolehkan Di Masjid
Selain adab-adab di atas, masih ada beberapa hal yang perlu kita
ketahui, yaitu perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan selama dimasjid.
Di antaranya:
- Menuntut ilmu, mempelajari Al Quran dan ilmu agama atau mengajarkannya.
Hal ini baik dalam bentuk majelis ta’lim, ceramah umum, atau seminar.
Semuanya secara esensi adalah sama saja. Hal ini telah menjadi kebiasaan
dari zaman ke zaman sejak masa awal Islam bahwa masjid juga merupakan
tempat menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama.
- Makan, minum, dan tidur selama tidak mengotori masjid.
Semua ini pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
ketika beliau i’tikaf. Bahkan dahulu ada segolongan sahabat nabi
sebanyak 70 orang yang bermalam dan tinggal di masjid karena mereka
tidak memiliki rumah. Mereka disebut golongan ashhabush shuffah. (HR.
Bukhari) Oleh karena itu terasa aneh jika ada masjid yang melarang
melakukan aktifitas ini.
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:
لَقَدْ رَأَيْتُ سَبْعِينَ مِنْ أَصْحَابِ الصُّفَّةِ
Saya telah melihat 70 orang dari ashhaabush shaffah. (HR. Bukhari No. 442)
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
كُنَّا فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ نَقِيلُ فِيهِ وَنَحْنُ شَبَابٌ
Dahulu pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami tidur di
dalam masjid dan saat itu kami masih muda. (HR. Bukhari No. 440, Muslim
No. 2479, Ahmad No. 4607, Ibnu Majah No. 751, Al Bazzar No. 5674,
Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 1656. Ini adalah lafaz yang terdapat
dalam Musnad Ahmad)
Abdullah bin Al Harits bin Jaz’in Az Zubaidi Radhiallahu ‘Anhu berkata:
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kami makan roti dan
daging di masjid. (HR. Ibnu Majah No. 3300, Ibnu Hibban No. 1657.
Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, Hal. 295)
Tertulis dalam Al Umm-nya Imam Asy Syafi’I bahwa Jubair bin Muth’am
ketika masih musyrik tidur di masjid nabi, dan beliau mendengarkan
bacaan Al Quran. Lalu Imam Asy Syafi’I Radhiallahu ‘Anhu berkata:
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيتَ الْمُشْرِكُ في كل مَسْجِدٍ إلَّا الْمَسْجِدَ
الْحَرَامَ فإن اللَّهَ عز وجل يقول { إنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا
يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هذا }
Tidak apa-apa seorang musyrik tidur di setiap masjid selain masjidil
haram, karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram
setelah tahun mereka ini.” (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, 1/54)[7]
Imam Al Muzanni mengomentari:
فَإِذَا بَاتَ فِيهِ الْمُشْرِكُ فَالْمُسْلِمُ الْجُنُبُ أَوْلَى أَنْ
يَجْلِسَ فِيهِ ، وَيَبِيتَ ، وَأُحِبُّ إِعْظَامَ الْمَسْجِدِ عَنْ أَنْ
يَبِيتَ فِيهِ الْمُشْرِكُ أَوْ يَقْعُدَ فِيهِ "
Jika seorang musyrik bermalam di masjid, maka seorang muslim yang junub
lebih utama untuk boleh duduk di dalamnya dan bermalam, dan saya lebih
suka untuk memulaikan masjid daripada membolehkan tidurnya seorang
musyrik dan duduk di dalamnya. (Imam Al Muzanni, Al Mukhtashar, 1/19)
Imam Al Mawardi mengomentari ucapan Al Muzanni: Hadzaa shahiih! (Inilah
yang benar). (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi fil Fiqhi Asy Syafi’i,
2/268)
- Bersyair dengan isi yang baik-baik.
Hal ini pernah dilakukan oleh seorang sahabat nabi, yaitu Hasan bin
Tsabit Radhiallahu ‘Anhu di hadapan nabi, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam tidak melarangnya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ عُمَرَ مَرَّ بِحَسَّانَ وَهُوَ يُنْشِدُ الشِّعْرَ فِي الْمَسْجِدِ
فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ
مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ
أَنْشُدُكَ اللَّهَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ
قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ
Bahwasanya Umar lewat di depan Hassan (bin Tsabit) dan dia sedang
melantunkan syair di dalam masjid, lalu Umar memandanginya dengan tajam.
Lalu Hassan berkata: “Saya pernah bersyair dan di dalamnya (masjid) ada
orang yang lebih baik darimu (maksudnya Rasulullah),” lalu dia menoleh
ke Abu Hurairah, lalu berkata: “Saya bertanya kepadamu atas nama Allah,
apakah kau dengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengatakan: “Kabulkanlah dariku Ya Allah, tolonglah dia dengan ruh qudus
(Jibril).” Beliau (Abu Hurairah) berkata: “Ya Allah benar.” (HR.
Bukhari No. 3212, dan Muslim No. 2485, ini adalah lafaz milik Muslim)
Maka, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
والشعر المنهي عنه ما اشتمل على هجو مسلم أو مدح ظالم أو فحش ونحو ذلك. أما
ما كان حكمة أو مدحا للاسلام أو حثا على بر فإنه لا بأس به
Syair yang dilarang adalah yang di dalamnya memuat serangan terhadap
seorang muslim atau pujian terhadap orang zalim atau kekejian dan yang
semisal itu. Ada pun syair yang mengandung hikmah atau pujian kepada
Islam atau ajakan kepada kebaikan, itu tidak apa-apa. (Fiqhus Sunnah,
1/251)
- Latihan perang
Dahulu, ketika Idul Fitri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
istrinya yakni ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, pernah menonton orang-orang
Etiopia yang sedang bermain pedang di masjid nabi, dan mereka berdua
menikmatinya hingga bosan. (HR. Bukhari). Lho, katanya tidak boleh
berisik? Koq malah latihan perang di masjid? Ya! Bersuara keras dan
gaduh memang dilarang di masjid, itu jika tidak karuan dan tidak
diperlukan, namun jika ada keperluan yang dibenarkan syariat maka tidak
apa-apa contohnya adalah kisah ini.
- Bercakap-cakap sewajarnya dalam hal-hal yang mubah untuk dibicarakan
Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya di masjid.
Dari Harb bin Simak, katanya:
قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ
مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ أَوْ الْغَدَاةَ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا
يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ
وَيَتَبَسَّمُ
Saya berkata kepada Jabir bin Samurah: Apakah kau pernah bermajelis
dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Beliau menjawab: “Ya,
banyak. Beliau tidaklah berdiri dari tempat shalatnya di waktu shalat
subuh atau pagi sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit
dia bangun. Dahulu mereka membicarakan peristiwa-peristiwa yang mereka
alami ketika masih jahiliyah, lalu mereka tertawa dan tersenyum.” (HR.
Muslim No. 670, Abu Daud No. 1294, Ahmad No. 20844, Ibnu Hibban No.
6259)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari:
يَجُوزُ التَّحَدُّثُ بالْحَدِيثِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ وَبِأُمُورِ
الدُّنْيَا وَغَيْرِهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ وَإِنْ حَصَل فِيهَا ضَحِكٌ
وَنَحْوُهُ مَا دَامَ مُبَاحًا
Dibolehkan berbicara dengan pembicaraan yang mubah di dalam masjid dan
urusan dunia dan selainnya yang mubah walaupun melahirkan tawa dan
semisalnya selama berasal dari yang mubah. (Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzdzab, 2/180)
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Tersebut dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى
كَرَاهَةِ الْكَلاَمِ فِي الْمَسَاجِدِ بِأَمْرٍ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا .
قَال الْحَنَفِيَّةُ : وَالْكَلاَمُ الْمُبَاحُ فِيهِ مَكْرُوهٌ يَأْكُل
الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُل النَّارُ الْحَطَبَ فَإِنَّهُ مَكْرُوهٌ
وَالْكَرَاهَةُ تَحْرِيمِيَّةٌ ، لأَِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لَهُ
.وَقَال الْحَنَابِلَةُ : وَيُكْرَهُ أَنْ يَخُوضَ فِي حَدِيثِ الدُّنْيَا ،
وَيُشْتَغَل بِالطَّاعَةِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى جَوَازِ الْكَلاَمِ الْمُبَاحِ فِي
الْمَسْجِدِ ...
Pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah bahwa makruh berbicara
urusan dunia di masjid. Hanafiyah mengatakan: “Pembicaraan yang mubah di
masjid adalah makruh, akan menghabiskan kebaikan-kebaikan sebagaimana
api membakar kayu bakar, maka itu makruh tahrim, karena masjid tidak
dibangun untuk itu. Hanabilah mengatakan: dimakruhkan ikut campur
membicarakan dunia dan membuatnay sibuk dari melakukan ketaatan berupa
shalat, membaca Al Quran, dan berdzikir. Pendapat Syafi’iyah membolehkan
berbicara yang mubah di masjid. .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 35/1118)
Apa yang menjadi pendapat Syafi’iyah bagi kami lebih kuat berdasarkan
riwayat shahih dari Jabir bin Samurah di atas, selama tema
pembicaraannya hal-hal yang mubah, wajar, dan tidak mengganggu, apalagi
bertemakan bagaimana memakmurkan dunia yang juga merupakan perintah
agama.
Wallahu A’lam
Hal-Hal Yang Terlarang Di Masjid
Sedangkan aktifitas yang hendaknya dijauhi oleh orang yang sedang di masjid adalah:
- Berjualan atau bertransaksi.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ
“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah:
“Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” (HR. At Tirmidzi No.
1336, katanya: hasan gharib. Hadits ini dishahihkan Imam Al Hakim, dalam
Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 2339. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul
Ghalil No. 1295, Misykah Al Mashabih No. 733, dan kitabnya yang lain)
Umar Radhiallahu ‘Anhu pernah melihat seorang bernama Al Qashir sedang berdagang di masjid, maka beliau berkata:
يَا هَذَا إِنَّ هَذَا سُوقُ الآْخِرَةِ فَإِِنْ أَرَدْتَ الْبَيْعَ فَاخْرُجْ إِِلَى سُوقِ الدُّنْيَا .
“Hei ..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat, jika engkau mau jualan,
keluarlah ke pasar dunia!” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
17/179)
Tertulis dalam Al Muwaththa’, dari Imam Malik Radhiallahu’Anhu:
أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ
بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا
تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ
بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ
“Bahwa telah sampai kepadanya tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat
di hadapannya sebagian orang yang berjualan di masjid, dia memanggilnya
dan bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa
orang tersebut mau berdagang, beliau berkata: “Hendaknya kamu ke pasar
dunia, ini adalah pasar akhirat.” (Imam Malik, Al Muwaththa, No. 421)
[8]
- Mengumumkan barang hilang.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ لَا
رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di
masjid maka hendaknya dikatakan: “Semoga Allah tidak mengembalikannya
kepadamu.” Karena masjid dibangun bukan untuk itu. (HR. Muslim No. 568,
Ahmad No. 8572, Abu Daud No. 473, Ibnu Majah No. 767, Ibnu Khuzaimah No.
1302, Ibnu Hibban No. 1651, Abu ‘Uwanah No. 1212)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
إنشاد الضالة في المسجد هي: أن ينادي إنسان فيقول: من وجد لي كذا، أو ضاع
مني كذا وكذا؟ هذا هو المقصود بإنشاد الضالة، قالوا: هي في الأصل تُطلق على
الإبل، لكن المقصود بها هنا ما هو أعم من ذلك، سواء كانت من بهيمة الأنعام
أو غيرها فليس للإنسان أن ينشد شيئاً ضائعاً له في المسجد مطلقاً؛ لأن
المساجد ما بُنيت للكلام في أمور الدنيا، وإنما بُنيت لذكر الله عز وجل.
قوله: [ (من سمع رجلاً ينشد ضالة في المسجد فليقل: لا أداها الله إليك) ].
أي: يعامل بنقيض قصده، فكما حرص على الدنيا يدعى بألا يحصل له مقصوده من
الدنيا؛ لأنه فَعَل ذلك في مكان لا يسوغ له أن يفعله فيه. فهذا فيه دليل
على منع ذلك في المسجد؛ لأنه لا يسوغ، ويدل أيضاً على أن الاشتغال بأمور
الدنيا عموماً حكمه كذلك؛ لأن قوله: (فإن المساجد لم تُبْنَ لهذا) يشمل ما
يتعلق بالضالة وغير الضالة من أمور الدنيا، حيث أن المساجد بُنيت لذكر
الله، ولتعلم العلم، ولقراءة القرآن، وللصلاة وعبادة الله عز وجل
Mencari barang yang hilang di masjid artinya dia memanggil manusia
dengan mengatakan: “Siapa yang menemukan punya saya begini begitu? Atau
telah hilang milik saya begini begitu?” Inilah maksud mencari barang
yang hilang. Mereka (para ulama) mengatakan: pada dasarnya ini diawali
pencarian terhadap unta, namun maksud di sini lebih umum dari itu. Sama
saja, apakah itu hewan ternak atau selainnya, maka janganlah manusia
mengumumkan barang hilang di masjid secara mutlak. Sebab masjid tidaklah
dibangun untuk membicarakan urusan dunia, dia didirikan untuk berdzikir
kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sabdanya: (Barang siapa yang mendengar seseorang mengumumkan barang
hilang di masjid maka hendaknya dikatakan: “Semoga Allah tidak
mengembalikannya kepadamu.”) yaitu sikapilah dengan hal yang berlawanan
dengan maksudnya. Maka, ini sebagaimana orang yang berkeinginan kuat
terhadap urusan dunia lalu diarahkan kepada yang bukan pada maksud
dunianya itu, karena dia melakukan hal itu di tempat yang tidak
sepantasnya dia lakukan. Maka, ini merupakan dalil larangan melakukan
hal tersebut di masjid, karena hal itu tidak layak. Ini juga dalil bahwa
hukum menyibukkan diri dengan perkara dunia di masjid juga demikian.
Sabdanya (karena masjid dibangun bukan untuk itu) memuat hal-hal yang
terkait dengan barang hilang dan selain barang hilang yang merupakan
termasuk urusan dunia, di mana masjid dibangun untuk berdzikir kepada
Allah, mempelajari ilmu, membaca Al Quran, shalat, dan beribadah kepada
Allah. (Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud,
3/269. Syamilah)
- Mengotori masjid dengan meludah dan lainnya.
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيُغَيِّبْ نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ فَتُؤْذِيَهُ
Jika salah seorang kalian mengeluarkan dahak di masjid, maka pendamlah
dahaknya itu, agar tidak menimpa kulit seorang mu’min atau pakaiannya
atau mengganggunya. (HR. Ahmad No. 1543, Al Bazzar No. 1127, Abu Ya’la
No. 808, 824, Ibnu Khuzaimah no. 1311, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman
No. 11179, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 2/367. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 1543. Syaikh
Sayyid Sabiq mengatakan: shahih. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/250)
- Mengeraskan Suara Yang Tidak Diperlukan
Ini sudah dibahas sebelumnya.
- Menyilangkan Jari-Jari tangan
Larangan ini berlaku bagi orang yang hendak shalat atau menunggu shalat
di masjid. Diluar waktu itu tidak apa-apa, walau pun di masjid.
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhilallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا
إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ
Jika kalian wudhu maka perbaguslah wudhunya, lalu dia sengaja menuju
masjid, janganlah menyilangkan jari jemari kalian, karena hal itu
berarti dia dalam keadaan shalat . (HR. At Tirmidzi No. 386, Abu Daud
No. 562. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 442)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perbuatan tersebut berasal dari
syetan, namun semua riwayat tersebut dinyatakan dhaif oleh Syaikh
Syu’aib Al Arnauth.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
يكره تشبيك الاصابع عند الخروج إلى الصلاة وفي المسجد عند انتظارها ولا يكره فيما عدا ذلك ولو كان في المسجد.
Dimakruhkan menyilangkan jari jemari ketika keluar menuju shalat dan di
masjid ketika menunggu shalat, dan tidak dimakruhkan di luar waktu itu
walau pun di masjid. (Fiqhus Sunnah, 1/252)
Telah shahih beberapa riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah menyilangkan jari jemarinya di masjid, namun itu terjadi setelah
shalat, bukan waktu menunggu shalat atau dalam perjalanan ke masjid.
Kami sampaikan satu hadits saja, dalam hadits yang cukup panjang Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu menceritakan (kami ringkas saja):
فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ
مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ
وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
.....
Lalu beliau (Rasulullah) shalat bersama kami dua rakaat, kemudian beliau
salam, lalu bangun menuju kayu tiang di masjid, dia bersandar kepadanya
seakan dia sedang marah dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya dan dia menyilangkan jari jemarinya .... (HR. Bukhari No. 482)
- Bernyanyi, main musik, dan menari
Imam As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan yang tidak boleh ada di dalam masjid:
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف
بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي
تعظم " ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد
أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط،
والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص
فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf
(rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis
alat-alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid maka
dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul,
karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah
Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu
dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid,
dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya
dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang
merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian, dan
barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah
pelaku bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.”
(Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil
Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Demikianlah masalah ini. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar kita
semua diberikan kekuatan untuk menjalankan akhlak di masjid ini dengan
sebaik-baiknya. Amiin ...
Wallahu A’lam wa Ilaihil Musta’an
---------------------------------------------
[1] Imam An Nawawi melanjutkan, bahwa
larangan ini adalah untuk mendekati masjid, bukan larangan makan bawang
merah, bawang putih, dan semisalnya. Demikian yang dikatakan jumhur,
sebab semua sayuran ini halal menurut ijma’. Al Qadhi ‘Iyyadh
menceriatkan bahwa kalangan zhahiri mengharamkannya, karena sayutran
tersebut menghalangi shalat berjamaah, sedangkan shalat berjamaah adalah
fardhu ‘ain menurut mereka. (Ibid)
[2] Ini adalah dilakukan pada
semua masjid, kecuali Masjidil Haram, sebab tahiyatul masjid bagi
Masjidil Haram adalah dengan thawaf (mengelilingi) ka’bah, sebagaimana
disebutkan dalam berbagai kitab hadits dan fiqih.
[3] Imam
Muhammad bin Hasan adalah kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah
Radhiallahun ‘Anhu. Kalangan Hanafiyah sendiri berpendapat bahwa
sunahnya tahiyatul masjid hanya berlaku pada selain waktu-waktu
terlarang shalat. (Al Fiqh ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 2/228) Jika
dilakukan pada waktu-waktu terlarang seperti saat terbit matahari atau
saat tenggelamnya, ba’da subuh, ba’da ashar, itu makruh.
Ini amat
berbeda dengan kalangan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa shalat yang
terikat oleh sebab (istilahnya shalat muqayyad) seperti shalat tahiyatul
masjid, shalat jenazah, tetaplah sunnah walau dilakukan waktu-waktu
terlarang. Alasannya karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru
memerintahkan seseorang yang langsung duduk ketika beliau khutbah Jumat,
untuk bangun dan melaksanakan shalat tahiyatul masjid, padahal ketika
khatib berkhutbah itu adalah waktu dilarang untuk beraktifitas. Dahulu
para sahabat nabi juga pernah shalat jenazah waktu ba’da ashar dan tidak
diingkari hal ini oleh para sahabat lainnya, sehingga Imam An Nawawi
dalam Al Minhaj dan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Hawi Al Kabir
mengatakan bahwa hal itu adalah ijma’ para sahabat. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pun pernah membolehkan seorang sahabat mengqadha
shalat sunah fajar yang dilakukan orang tersebut ba’da subuh, dan beliau
sendiri pernah mengqadha shalat sunah qabliyah zhuhur pada saat setelah
ashar. Dalam hal ini, bagi kami pandangan Syafi’iyah lebih kuat.
Wallahu A’lam
[4] Jika seseorang tiap hari masuk ke masjid
berulang-ulang maka cukup baginya sekali untuk tahiyatul masjid jika ada
udzur. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu,
2/228). Tertulis dalam Al Fiqh ‘Ala Al Madzaahib Al ‘Arba’ah (1/513)
bahwa tiga imam mafdzhab (Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah) justru tetap
menyunnahkan tahiyatul masjid walau cuma lewat di dalam masjid menuju
tujuan lain, sedangkan menurut Malikiyah tidak dianjurkan, menurut
Malikiyah sunah tahiyatul masjid hanya untuk orang yang bermaksud duduk
saja.
[5] Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan tambahan
rakaat itu terserah sesuai kehendaknya. Hanafiyah mengatakan dua rakaat,
dan jika empat rakaat itu afdhal (lebih utama). Tetapi menurut kalangan
Malikiyah tidak boleh lebih dua rakaat dan hukumnya adalah sunah
muakadah. Sedangkan yang lain mengatakan sunah saja. (Syaikh Abdurrahman
Al Jazairi, Al Fiqhu ‘Ala Al Madzaahib Al Arba’ah, 1/513)
[6] Bacaan ini lihat juda pada Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/228
[7] Yaitu orang musyrik yang telah mendapat dzimmah (perlindungan/jaminan) dari negeri kaum muslimin.
[8] Dalam Al Mausu’ah tertulis:
وَاخْتَلَفُوا
فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ
وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى
التَّحْرِيمِ .
“Mereka berbeda pendapat tentang sifat
larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah
makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.” (Al Mausu’ah
Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179. Maktabah Misykah)
Berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah:
وَالْعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ
وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ
رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي
الْمَسْجِدِ
“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka
memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq.
Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di
masjid.” (Sunan At Tirmidzi lihat penjelasan No. 1336)
Apa yang
Rasulullah doakan: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.”
Jelas menunjukkan ketidaksukaannya dengan aktifitas perniagaan di
masjid. Maka, mana mungkin dikatakan boleh?
Imam Abu Hanifah
membolehkannya, tetapi jika barang dagangannya dibawa ke masjid maka itu
makruh tanzih (makruh mendekati boleh). Sedangkan Imam Malik dan Imam
Asy Syafi’i memakruhkannya. Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya.
(Fiqhus Sunnah, 3/87. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Imam Amir Ash
Shan’ani mengatakan hadits ini menunjukkan keharaman jual beli di
masjid, dan kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengatakan: Semoga
Allah tidak menguntungkan perniagaanmu. Alasannya, karena nabi
mengatakan: Masjid dibangun bukan untuk itu. Apakah jual beli ini sudah
dalam bentuk akad? Al Mawardi mengatakan: telah disepakati, bahwa hal
itu adalah akda jual beli. (Subulus Salam, 2/46) Jadi, keharaman berlaku
bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau
berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.
Sementara Imam Asy
Syaukani mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna
larangan dalam hadits tersebut adalah makruh jual beli di masjid. Al
‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (aklamasi) jika telah terjadi akad
jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan.
Imam
As Syaukani lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan, sebab jika
makna larangan adalah makruh, maka itu harus ditunjukkan oleh qarinah
(korelasi)nya. Sedangkan maksud dari pengucap dengan larangan secara
hakiki adalah menunjukkan haramnya. Menurutnya inilah yang benar. Ada
pun kesepakatan ulama bahwa jual beli tidak boleh dibatalkan dan tetap
sah, maka itu tidak menafikan keharamannya. Hal itu bukan qarinah yang
menunjukkan larangan adalah bermakna makruh. Sebagian sahabat Asy
Syafi’i ada yang tidak memakruhkan jual beli di masjid, tetapi hadits
ini membantah pendapat mereka. Para sahabat Abu Hanifah berbeda dengan
pandangan umumnya, kebanyakan memakruhkan dan sedikit di antara mereka
tidak memakruhkannya, namun ini pendapat yang tidak berdalil. (Nailul
Authar, 2/158-159. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Maka,
pendapat yang lebih kuat adalah akad jual beli di masjid adalah haram,
mengingat larangan hadits tersebut, dan tidak ada dalil lain yang
mengalihkannya menjadi makruh atau boleh. Ada pun bila belum terjadi
akad, baru sekedar ‘ngobrol’ atau tawar menawar, maka tidak terlarang.
Tetapi, jika sudah terlanjur terjadi akad jual beli di masjid, maka
menurut ijma’ ulama akadnya tidak boleh di batalkan alias tetap sah,
walau itu haram.
http://www.ustadzfarid.com/2014/03/akhlak-dan-adab-di-dalam-masjid.html
Senin, 28 April 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar