 |
Riya' Dan Bahayanya, Maktabah Al-Aisar |
Oleh: Ust. Yazid bin Abdul Qodir Jawwas hafidzahullah
Dari Abi Hurairah-radliyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda:” Sesungguhnya manusia
pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di
jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat
(yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya:’Amal apakah yang engkau kerjakan dengan nikmat-nikmat
itu?’,Ia menjawab:’Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku
mati syahid.’ Allah berfirman:’ Kamu dusta! kamu berperang supaya
dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah
dikatakan (tentang dirimu).’Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret orang itu dengan mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke
dalam neraka. berikutnya (yang diadili) adalah seorang yang menuntut
ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al Qur’an. Ia didatangkan dan
diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengakuinya. Lalu Allah menanyakannya:’ Amal apakah yang kamu lakukan
dengan nikmat-nikmat itu?.’ Ia menjawab:’Aku menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta aku membaca Al Qur’an hanyalah karena Engkau.”
Allah berfirman:’ Kamu dusta! Kamu menuntut Ilmu agar dikatakan seorang
alim (yang berilmu) dan kamu membaca Al Qur’an supaya dikatakan seorang
qori’ (pembaca Al Qur’an yang baik). Memang begitulah yang telah
dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya
(yang didadili) adalah orang yang diberikan rejeki dan berbagai macam
harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenali (mengakuinya). Allah
bertanya :’ Apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat itu? Dia
menjawab :’ Aku tidak pernah meninggalkan shadaqoh dan infak pada jalan
yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena
Engkau.’ Allah berfirman:’ Kamu dusta! kamu berbuat yang demikian supaya
dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang telah
dikatakan (tentang dirimu).’ kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret atas mukanya dan melemparkannya kedalam neraka.”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwatkan oleh:
- Muslim, Kitabul Imarah bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar 6/47 atau 3/1513-1514 no 1905
- An-Nasai, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala: Fulan Jari’, Sunan Nasai 6/23-24
- Ahmad, dalam Musnad Ahmad 2/322
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah- dalam
Shahih Targhib wa Tarhib 1/85 no 20 dan dalam
Shahih An-Nasai 2/658 no 2940.
Hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunan-nya, Kitab
Az Zuha’ bab
Majaa’a fir Riya’ wa Sum’ah,
Tuhfatul Ahwadzi 7/54 no 2489, Ibnu Khuzaimah dalam
shahih-nya no 2482 dan Ibnu Hibban no 2502-
Mawaridudh Dham’an.
Para
perawi hadits ini tsiqoh (terpercaya). Kecuali Al Walid bin Abil Walid
Abu Utsman. Dikatakan oelh Al Hafidh bahwa dia layyinul hadits (lemah
haditsnya) dalam
Taqribul Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa Abdul
Qodir ‘Atha. Perkataan ini keliru karena karena Al Walid bin Abdil Walid
termasuk perawi Imam Muslim dan dikatakan tsiqoh oleh Abu Zur’ah Ar
Razi (lihat Al Jarh wa Ta’dil juz 9 hal 19-20).
At-Tirmidzi berkata
tentang hadits ini : Hasan gharib, sedangkan AL hakim berkata : Shahihul
isnad dan disetujui oleh Adz Dzahabi dalam Mustadrak Al hakim 1/419,
lihat Ta’liq Sunan At Tirmidzi 4/169 dan Ta’liq Shahih Shahih Ibnu
Khuzaimah 4/115.
Tatkala Muawiyah -
Rodliallohu anhu- mendengar hadits
ini, beliau berkata:” hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana
dengan orang-orang yang akan datang?” kemudian beliau menangis
terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, beliau mengusap mukanya
sambil berkata:”Benarlah Allah dan RosulNya, Allah berfirman:
Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia dan persiapannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akherat kecuali neraka. Lenyaplah di akherat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan [QS Hud 15-16].
Penjelasan Hadits
Nilai amal disisi
Alloh Azza wa Jalla diukur dengan ikhlas karenaNya dan sesuai dengan
contoh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , bukan dengan banyak dan
besarnya amal.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Katakanlah:”Sesungguhnya
aku ini hanya manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa
mengharapkan perjumpaan dengan Thannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shahih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Rabb-nya (Al Kahfi 110).
Hadits ini menjelaskan
tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak
mendapat penolong selain Alloh Azza wa Jalla . Mereka membawa amal yang
besar, namun sayang, mereka melakukannya karena riya’, ingin
mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Tiga golongan manusia itu
adalah :
1. Kaum yang dianugerahi Alloh Azza wa Jalla kesehatan
dan kekuatan. Kewajiban mereka seharusnya adalah mencurahkan semuanya
untuk Allah dan di jalan Allah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya.
Namun sayang, syaithon telah menjadikan mereka mencurahkannya diluar
jalan itu. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, namun
tujuannya hanya supaya disebut sebagai pemberani. Kepada merekalah Alloh
Azza wa Jalla mengawali pengadilanNya pada hari kiamat. lalu Alloh Azza
wa Jalla memperlihatkan nikmat-nikmatNya yang telah dianugrahkan kepada
mereka , seraya bertanya,”Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat-nikmat
itu?” Pada saat itulah Alloh Azza wa Jalla membuka rahasia hati mereka
seraya berfiman,” Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad)
hanya supaya dikatakan pemberani (pahlawan).” Mereka tidak mampu
membantah, dan demikianlah kenyataannya. Malaikatpun diperintahkan
menarik wajah mereka dan melemparkan kedalam api neraka.
2. Kaum yang dimuliakan Alloh Azza wa Jalla dengan diberi kesempatan untuk
menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia, mereka mampu membaca Al
Qur’an dan mempelajarinya, seharusnya dengan ilmunya tersebut mereka
berniat karena Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah
atas limpahan rahmatNya. Namun sayang tujuan yang semestinya karena
Allah, telah dipalingkan dan dihiasi oleh syaithon sehingga berbuat
riya’ (pamer) dengan ilmunya di hadapan manusia agar mendapat pujian,
kedudukan harta dan jabatan. Mereka tidak menyadari bahwa Allah selalu
melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan dan Allah mengetahui
rahasia yang tersembunyi di hati mereka. Ternyata mereka belajar,
mengajar, dan membaca Al Qur’an supaya dikatakan sebagai orang alim,
pintar atau semisalnya. Sedangkan yang membaca Al Qur’an supaya
dikatakan qari/qari’ah, orang yang bagus dan indah bacaannya, maka pada
kiamat kelak tidak ada yang lain yang mereka peroleh kecuali dikatakan
“Pendusta”. Mereka hanya terdiam disertai kehinaan, kerugian dan penuh
penyesalan. Kemudian Alloh Azza wa Jalla menyuruh malaikat agar menyeret
dan mencampakkan mereka kedalam neraka, Wal ‘iyadzubillah.
3. Kaum yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda.
Mereka dalah golongan yang mampu, kaya. Kewajiban mereka semestinyalah
bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata. Namun sayang
mereka shodaqoh, infaq, memberi dan mendermakan harta supaya dikatakan
dermawan, supaya dikatakan orang baik dan semisalnya. Padahal apa yang
dikatakan mereka di hadapan Allah bahwa mereka berinfaq, bershodaqoh
karena Allah adalah dusta belaka, Allah mengetahui isis hati mereka, dan
diperintakan malaikat untuk menyeret dan mencampakkan pendusta ini ke
dalam neraka dan mereka tidak mendapatkan seorang penolongpun selain
Alloh Azza wa Jalla [ lihat: Taujihat Nabawiyah ‘ala Thariq, DR Sayyid
Muhammad nuh, cet. darul wafa’].
Imam Nawawi -rahimahullah-
mengatakan bahwa sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tentang
ornag yang berperang, orang alim dan dermawan serta siksa Allah atas
mereka adalah karena mereka mengerjakan demikian untuk selain Allah, dan
dimasukkannya mereka ke dalam neraka menunjukkan atas sangat haramnya
riya’ dan keras siksanya serta diwajibkannya ikhlas dalam seluruh amal,
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
“Tidaklah
mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan
ketaan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” [QS Al Bayyinah
6].
Keumuman haidts-hadits tentang keutamaan jihad sesungguhnya bagi
orang yang melaksanakannya karena Alloh Azza wa Jalla dengan ikhlas.
Demikian juga pujian terhadap ulama/orang berilmu dan orang yang
berinfaq, semua dengan syarat apabila mereka melakukannya semata-mata
karena Alloh Azza wa Jalla .
Demikian mengerikannya siksa dan ancaman
bagi kita orang yang berbuat riya’ dalam melakukan kebaikan. Mereka
berbuat dengan tujuan mengharap pujian dan sanjungan dari manusia. Islam
lebih banyak memperhatikan faktor niat (pendorong) suatu amalan itu
sendiri, meskipun kedua-duanya mendapatkan perhatian.
Secara harfiah,
sudah diketahui bahwa penipuan yang dilakukan seorang terhadap orang
lain merupakan perbuatan hina dan dosa, bagaimana jika perbuatan
penipuan ini dilakukan kepada Alloh Azza wa Jalla ?, maka perbuatan ini
lebih sangat hina, buruk dan tercela. Dalam tulisan ini akan dibahas
definisi riya’, sebab-sebabnya, macamnya, bahayanya, beberapa hal yang
tidak termasuk riya’ serta obat penyakit riya’.
Definisi Riya’
Secara
syar’I, para ulama berbeda pendapat dalam memerikan definisi riya’,
namun intinya sama, yakni seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan
diri kepada Allah, namun ia lakukan bukan karena Allah melainkan tujuan
dunia.
Al Qurthibi mengatakan,” hakekat riya’adalah mencari apa yang
ada di dunia dengan ibadah dan arti asalnya adalah mencari tempat di
hati manusia”[lihat: Al Ikhlas, DR Umar Sulaiman Al Asyqor]
jadi
riya’ adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga
mereka memuji pelakunya dan ia mengharapkan pengagungan dan pujian serta
penghormatan dari orang yang melihatnya. [lihat : Fathul Bari 11/336,
Al Ikhlas wa Syirkul Asghor hal 9].
Perbedaan Riya dan Sum’ah
Imam
Bukhori -rahimahullah- dalam shahihnya membuat bab Ar Riya’ was Sum’ah
dengan membawakan hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
“
Barangsiapa
memperdengarkan(menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya,
dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya
(dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)” (HSR Bukhori juz 7/189 dan
Muslim no 2987].
Perbedaan riya dan sum’ah ialaha Riya’ berarti
beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal
supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra
mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga [lihat : Al Ikhlas
hal 95, DR Umar Sulaiman Al Asyqor].
Perbedaan antara Riya dan ‘Ujub
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah -
rahimahullah- mengatakan,” Seringkali orang
menghubungkan antara riya’ dan ‘ujub, padahal riya’ merupakan perbuatan
syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan ‘ujub adalah syirik kepada
Allah karena nafsu [ lihat: Majmu Fatawa 10/277]
Imam Nawawi
-
rahimahullah- berkata,” ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang
dihalangi oleh penyakit
‘ujub. Barangsiap berlaku ‘ujub (mengagumi)
amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang
sombong [lihat : Syarh Arba’in hal 5].
Ujub menurut bahasa berarti
kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. yaitu seorang berbangga dengan
diri dan pendapatnya. Orang yang berlaku ujub adalah orang yang tertipu
dengan dirinya dan dengan ibadahnya. Ia tidak mewujudkan makna
‘Iyyaka
nasta’iin” “hanya kepadaMu ya Allah kami mohon pertolongan.” Sedangkan
orang yang berlaku riya’ tidak mewujudkan “
iyyaka na’budu” “hanya
kepadaMu Ya Allah kami beribadah”.
Apabila seorang telah mewujudkan
makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in maka akan hilang penyakit riya
dan ujub [lihat: Al Ikhlas hal 96-97 DR Umar Sulaiman Al Asyqor]
Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,”
Tiga perkara yang membinasakan,
yaitu hawa nafsu jika dituruti, kebakhilan (kikir/pelit) yang ditaati,
dan kebanggan seseorang terhadap dirinya.” [HSR Abu Syaikh dan Thabrani
dalam Mu’jam Ausath-lihat : Shahih Jami’us Shaghir no 3039]
Sebab-Sebab Riya’
Sebab-sebab
yang menjerumuskan manusia ke lembah riya’ adalah kecintaan kepada
pangkat dan kedudukan. Jika hal ini dirinci, maka dapat dikembalikan
kepada tiga sebab pokok, yaitu :
a. Senang menikmati pujian dan sanjungan
b. Menghindari/takut celaan manusia
c. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orng lain.
Hal
ini dipertegas dengan riwayat did alam Ash Shahihain, dari hadits Abu
Musa Al Asy’ari--Rodliallohu anhu- , ia berkata bahwa ada seseorang
datang kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam seraya
berkata,”Seseorng berperang karena rasa fanatisme, berperang dengan
gagah berani dan berperang karena riya’, manakah dari yang demikian ini
yang berada di jalan Alloh ?” Beliau menjawab,”
Barangsiapa berperang
dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi maka itu fi
sabilillah.” [HSR Bukhori 8/189 dan Muslim 1904 and selain mereka].
Makna
perkataan orng ini” berperang dengan gagah berani” adalah agar namanya
disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan “ berperang dengan fanatisme
(golongan)” yaitu ia tidak mau dihina atau dikalahkan. makna perkataan “
berperang karena riya” yaitu agar kedudukannya diketahui orang lain dan
hal ini merupakan kenikmatan pangkat dan kedudukan di hati manusia.
Boleh
jadi seseorang tidak tertarik pujian, namun ia takut terhadap hinaan.
Seperti penakut diantara pemberani. Dia berusaha menguatkan hati untuk
tidak melarikan diri agar tidak dihina dan dicela. Adakalanya seseorang
memberi fatwa teanpa ilmu karena menghindari celaan supaya tidak
dikatakan sebagai orang bodoh. Tiga hal inilah yang menggerakkan riya’
dan sebagai penyebabnya.
Macam-Macam Riya’
Riya’ ada beberapa macam, yaitu :
1.
Riya’ yang berasal dari badan,contoh diantaranya seperti memperlihatkan
bentuk tubuh yang kurus dan pucat agar tampak telah berusaha sedemikian
rupa dalam beribadah dan takut pada akherat. Atau memperlihatkan ranbut
yang acak-acakan agar dianggap terlalu sinuk dengan urusan agama
sehingga merapikan rambutpun tidak sempat. Atau dengan memperlihatkan
suaranya yang parau, mata cekung sayu dan bibir kering agar dianggap
terus menerus berpuasa. Riya’ semacam ini dilakukan oleh para ahli
ibadah. Adapun orang-orang yang sibuk dengan urusan dunia, riya’ mereka
dengan memperlihatkan badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah
yang ganteng dan rambut yang kelimis.
2.
Riya’ yang berasal
dari pakaian dan gaya, seperti menundukkan kepala ketika berjalan,
sengaja membiarkan bekas sujud di wajah, memakai pakaian tebal,
mengenakan pakaian wol, menggulung lengan baju dan emmendekkannya serta
sengaja tampak lusuh (agar dianggap ahli ibadah), atau dengan
mengenakan pakaian tambalan, berwarna biru, meniru kaum sufiyah padahal
batinnya kosong dari kekhlasan. Atau memakai tutup kepala diatas sorban
supaya orang meilhat adanya perbedaan dengan kebiasaan yang ada. Orang
yang melakukan riya’ dalam jenis ini ada beberapa tingkat, diantara
mereka ada yang mengharapkan kedudukan dikalangan orang yang baik dengan
menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. sedangkan riya bagi
para pemuja dunia adalah pakaian yang mahal, kendaraan yang bagus dan
perabot yang mewah.
3.
Riya’ dengan perkataan, seperti
contohnya: memberi nasehat, peringatan, menghapal kisah-kisah terdahulu
dan atsar namun dengan tujuan untuk berdebat atau memperlihatkan
kedalaman ilmu dan perhatiannya kepada keadaan para salaf, atausengaja
mengerakkan bibir supaya dikira sedang berzikir di hadapan orang banyak,
menunjukkan kemarahan di hadapan orang banyak ketika melihat
kemungkaran, sengaja memperindah bacaan Al Qur’an supaya dianggap
menunjukkan sikap takut dan tawadlu dan semisalnya dan contoh lainnya.
4.
Riya’ dengan perbuatan, seperti riya’ yang dilakukan orang yang sholat
dengan memanjangkan bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku’ dan sujud
atau menampakkan kekhusyu’an atau yang lainnya, begitu pula dengan malan
ibdah lainnya, puasa haji, shodaqoh, zakat dan lainnya.
5.
Riya dengan teman dan orang-orang yang berkunjung kepadanya, seperti
seseorang memaksakan dirinya supaya dikunjungi oleh ulama atau ahli
ibadah ke tempat tinggalnya, supaya dikatakan” si fulan banyak
dikunjungi ulama” riya’ dengan menyebutkan nama-nama gurunya agar orang
berkomentar tentang dirinya dn dinggap orang berilmu, dia berbuat
demikian untuk membanggakan diri.
kita memohon kepada Alloh Azza wa
Jalla dari semua macam riya’ ini. [ lihat : Mukhtashor Minhajul
Qosidin hal 175-178] oleh Imam Ibnu Qudamah, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Ar
Riya’ wa Atsaruhu As Sayi’ fil Ummah hal 17-20]
Ciri-ciri dan Tanda Riya’
Riya’
mempunyai ciri dan tanda-tanda sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib
–-Rodliallohu anhu- “ Orang yang berlaku riya’ memiliki tiga ciri,
yakni:
1. Dia menjadi pemalas apabila sendirian
2. Dia menjadi giat semangat jika berada di tengah-tengah orang banyak
3. Dia menambah kegiatan kerjanya jika dipuji dan berkurang jika di ejek
[lihat: Al Kabair, Imam Adz Dzahabi hal 212, tahqiq Abu khalid Al Husein bin Muhammad As Sa’idi cet darul fikr]
Tanda
yang paling jelas adalah merasa senang jika orang yang melihat
ketaatannya, andaikan orang tidak melihatnya, dia tidak merasa senang.
dari sini diketahui bahwa riya’ itu tersembunyi didalam hati seperti api
yang tersembunyi dalam batu. Jika orang melihatnya maka menimbulkan
kesenangan dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang sangat halus,
lalu membangkitkannya untukmenampakkan amalnya. Bahkan ia berusaha agar
diketahui amalnya itu baik secara sindiran atau terang-terangan [ lihat
: Mukhtashor Minhajul Qosidin, Ibnu Qudamah AL Maqdisi hal 280].
Diriwayatkan
bahwa Abu Umamah Al Bahili pernah mendatangi seseorang di masjid yang
sedang bersujud sambil menagis ketika berdoa, kemudian Abu Umamah
mengatakan kepadanya:”
Apakah engkau lakukan seperti ini jika engkau
sholat dirumahmu? (teguran semacam ini dimaksudkan untuk menghilangkan
sikap riya’[Lihat : Al kabair, Imam Adz Dzahabi hal 211]
Jebakan dan Peringatan
Terkadang
seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya’
namun ia terjebak dan tergelincir di dalamnya sehingga ia meninggalkan
amal karena takut riya’.
Jika ada seorang meninggalkan amal yang baik
dengan maksud supaya terhindar dari riya’, maka tidak ragu lagi bahwa
sikap ini adalah sikap yang salah dalam menghadapi riya’.
Fudlail bin
Iyadl menjelaskan,”
Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’
sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas itu adalah Allah
menyelamatkan kita dari keduanya.”
Imam Nawawi menjelaskan,”
perkataan Fudlail bahwa orang yang meninggalkan amal karena manusia
adalah riya’ sebab ia melakukannya karena manusia, adapun kalau
meninggalkannya karena ingin melakukannya di saat sepi atau sendirian
maka diperbolehkan dan ini sunnah, kecuali dalam perkara yang wajib
seperti sholat wajib lima waktu, atau zakat atau ia seorang yang alim
yang menjadi panutan dalam ibadah, maka menampakkannya adalah afdla
(utama). [ Lihat : Syarh Arba’in Imam Nawawi hal 6]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Majmu fatawa 23/175-175,”Barangsiapa
melakukan amal rutin yang disyariatkan seperti sholat dluha, qiyamul
lail, maka hendaklah dia tetap melakukannya dan tidak semestinya ia
meninggalkan kebiasaaan ini hanya karena berada di tengah manusia, hanya
Alloh
Azza wa Jalla yang mengetahui rahasia hatinya bahwa ia
melakukannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berusaha agar ia
selamat dari
riya’ dan dari hal-hal yang merusak
keikhlasan.” Kemudian
beliau membawakan perkataan Fudlalil bin Iyadh seperti diatas,
selanjutnya beliau mengatakan,” Barangsiapa melarang sesuatu yang
disyariatkan hanya berdasarkan anggapannya bahwa hal itu tertolak
berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut:
1.
Amal yang
disyariatkan tidak boleh dilarang hanya karena takut riya’. bahkan
diperintahkan untuk tetap melakukannya dengan ikhlas. Bila kita melihat
seorang yang mengamalkan syariat kita harus menetapkan bahwa dia
melakukannya (atau membiarkannya) kendatipun kita dapat memastikan ia
berbuat dengan riya’. Seperti halnya orang-orang munafik yang Allah
berfirman tentang mereka,” Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri
sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan
sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali.” [QS An Nisa’ 142]. Mereka orang-orang munafik sholat
bersama Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , Beliau dan para Shohabat
rodliallohu anhum membiarkan amal yang mereka (para munafik) berbuat
itu dengan riya’ dan tidak melarang perbuatan dhahir mereka, artinya
para Shohabat rodliallohu anhum tidak melarang mereka sholat bersama
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Hal ini karena kerusakan
meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya
daripada menampakkan amal tersebut dengan riya’. Sebagaimana
meninggalkan iman dan Sholat lima waktu lebih besar bahayanya dibanding
dengan meninggalkan amal itu dengan riya’.
2.
Pengingkarang
hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,”Sesungguhnya aku tidak
diperintahkan unutk membongkar/memeriksa hati mereka dan tidak pula
untuk membedah perut mereka.” [HSR Akhmad dan Bukhori dari Abu Said Al
Khudri -Rodliallohu anhu-]. Umar bin Khattab -Rodliallohu anhu-
mengatakan,” Barangsiapa menampakkan kebaikan kami akan mencintainya
meskipun hatinya berbeda dengan itu dan orang yang menampakkan
kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya
baik.”
3.
Sesungguhnya membolehkan pengingkaran terhadap hal
seperti itu justru akan membuka peluang kepada Ahlus syirk wal fasad
[orang yang berbuat syirik dan kerusakan) untuk mengingkari alul khoir
wad dien (orang yang berbuat kebaikan). Apabila mereka melihat orang
yang melakukan perkara yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka
berkata,”
Orang ini telah berbuat riya’”. lalu karena tuduhan ini , orng
yang jujur dan ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang
disyariatkan karena takut ejekan dan celaan dan tuduhan mereka. Lantas
terbengkalailah amal-amal kebaikan dan tidak terlaksana. Kemudian hal
ini menjadi senjata bagi orang-orang yang berbuat syirik untuk tetap
melakukan kerusakan dan tidak ada yang mengingkarinya. hal ini justru
kerusakan yang lebih besar.
4.
Sesungguhnya hal seperti ini
adalah syiar (semboyan) orang-orang munafik. Mereka selalu mencela amal
yang disyariatkan. Alloh
Azza wa Jalla berfirman,” (orang-orang munafik)
yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shodaqoh
dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik
itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan
untuk mereka adzab yang pedih.” [QS At taubah : 79].
Wallaahul Muwaffiq,
Semoga bermanfaat.