Setiap orang tua tentu memiliki harapan yang sama, yaitu keinginan agar anak-anak mereka menjadi anak yang shalih dan shalihah.
Hanya
saja perlu dicamkan baik-baik bahwa harapan seperti itu tidaklah hanya
dicapai dengan angan-angan atau hayalan-hayalan mimpi. Akan tetapi
keshalihan seorang anak itu bergantung pada keshalihan kedua orang tua.
وَلْيَخْشَ
الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’: 9)
Di
dalam ayat ini terdapat isyarat berupa peringatan kepada orang tua yang
khawatir masa depan anak keturunannya, agar dia bertakwa kepada Allah
dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi seluruh larangannya agar
kelak Allah menjaga anak keturunannya diatas keshalihan.
Berkata
Asy-Syaibani, “Dahulu kami tatkala berada di kota Konstantinopel
bersama dengan pasukan Maslamah bin Abdul Malik, ketika itu kami sedang
duduk-duduk bersama sekelompok ulama diantaranya Ibnu Ad-Dailami, maka
mereka saling mengingatkan tentang apa yang terjadi berupa huru-hara
hari kiamat. Maka aku katakan kepadanya (Ibnu Ad-Dailami), ‘Wahai Abu
Bisyr, aku senang bila aku tidak memiliki anak.’ Maka ia menjawab,
“Mengapa demikian! Tidak ada satu keturunan pun yang Allah takdirkan
untuk keluar dari seseorang melainkan pasti akan keluar, baik dia suka
atau pun tidak suka, hanya saja bila engkau ingin agar mereka menjadi
baik maka bertakwalah engkau kepada Allah dengan berbuat baik kepada
orang lain.” Kemudian ia membaca ayat diatas (An-Nisa’: 9).[1]
مَنْ أَحْسَنَ الصَّدَقَةَ جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ وَمَنْ قَضَى حَاجَةَ أَرْمَلَةٍ أَخْلَفَ اللَّهُ فِي تَرِكَتِهِ
“Barang
siapa memperbagus sedekah ia akan dibolehkan melewati shirath
(jembatan), barang siapa mencukupi kebutuhan para janda tua maka Allah
akan menjaga anak keturunannya.”[2]
Perhatikanlah kisah berikut yang menunjukan akan keberkahan sebuah anak dalam keluarga!
Dikisahkan
bahwa Muqatil bin Sulaiman pernah menemui Al-Manshur pada saat ia
dibai’at menjadi khalifah, maka Al-Manshur berkata kepadanya, “Berilah
aku sebuah nasehat.” Maka Muqatil menjawab, “Nasehat dari hal yang aku
lihat atau yang aku dengar?” ia menjawab, “Dengan apa yang engkau
lihat.” Maka Muqatil berkata, “Wahai amirul mukminin, Umar bin Abdul
Aziz memiliki 11 anak, ia meninggal hanya menyisakan uang 18 dinar,
biaya mengkafaninya sebanyak 5 dinar, biaya penguburannya 4 dinar,
kemudian sisanya diberikan kepada ahli warisnya…adapun Hisyam bin Abdul
Malik memiliki juga 11 anak, dan ia meninggalkan warisan satu juta dinar
untuk masaing-masing anaknya. Demi Allah wahai amirul mukminin, sungguh
aku melihat dengan mata kepala saya sendiri salah seorang anak Umar bin
Abdul Aziz berinfak sebanyak seratus kuda untuk persiapan jigad di
jalan Allah, diwaktu yang sama pula saya melihat salah satu anak Hisyam sedang disibukkan dengan perdangan bisnisnya di pasar!!”[3]
Orang
tua yang shalih akan menghasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah.
Namun jika tidak, yang terjadi adalah sebaliknya. Dikisahkan bahwa ada
seorang tertangkap karena melakukan pencurian, maka tatkala hakim
memutuskan dia untuk dipotong tangannya, sang pencuri ini berucap,
‘Potonglah tangan ibuku, karena dahulu tatkala aku masih kecil, aku
pernah mencuri yelur, namun justeru ibuku gembira dan tersenyum dengan
perbuatan yang aku lakukan’!!
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَباتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لا يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً
“Dan
tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah;
dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana.” (Al-A’raf: 58)
Dikisahkan
ada seorang yang bernama Al-Mubarak beliau adalah bapak dari seorang
ulama besar yang bernama Abdullah bin Al-Mubarak. Dikisahkan bahwa
Al-Mubarak dahulunya adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh
tuannya, kemudian ia menjadi pegawai pada sebuah perkebunan. Pada suatu
ketika keluarlah pemiliki kebun bersama teman-temannya kekebunnya,
kemudian ia berkata kepada Al-Mubarak, “Berian kepadaku satu buah delima
yang manis.” Maka Mubarak membawa bebarapa buah yang dipetik, namun
seluruhnya pahit. Kemudian pemilik kebun berkata kepadanya, “Apakah kamu
tidak bisa membedakan antara yang manis dan pahit?” kemudian Mubarak
mengatakan, “Engkau belum memberikan izin kepadaku untuk mencicipi buah
tersebut.” Maka pemilik kebun berkata, “Kamu sudah menjaga kebun ini
selama setahun masa belum pernah mencicipinya sama sekali.” Pemilik
kebun mengira bahwa Mubarak telah berdusta. Maka kemudian sang majikan
pun bertanya kepada tetangganya, dan dikhabarkan kepadanya bahwa Mubarak
sama sekali belum pernah mencicipi buah delima di kebunnya sama sekali.
Kemudian sang pemilik kebun berkata kepada Mubarak, “Wahai Mubarak, aku
hanya memiliki satu orang puteri, kepada siapakah aku hendak
menikahkannya?” maka Al-Mubarak menjawab,
“Orang-orang Yahudi menikahkan karena harta, orang-orang Nasrani karena keelokan, orang-orang Arab menikahkan kerena kedudukan dan martabat, sedangkan kaum muslimin menikahkan puterinya dengan orang lain karena ketakwaannya."
Lalu
kelompok manakah yang akan engkau pilih? Nikahkanlah puterimu dengan
seorang yang bertakwa.” Maka sang pemilik tanah berkata, “Adakah
sekarang orang yang lebih takwa dari pada dirimu?” kemudian Mubarak
dinikahkan dengan puterinya.
Kemudian
hasil dari pernikahan yang mulia ini lahirlah seorang anak yang bernama
Abdullah bin Al-Mubarak. Seorang ulama besar amirul mikminin fil hadits
(penghulunya para ahli hadits), seorang mujahid, imam dalam kezuhudan,
keilmian, dan sedekah.
Contoh
yang lainnya adalah bapak dari imam Bukhari yang bernama Isma’il, ia
pernah berkata sebelum meninggal, “Demi Allah, saya tidaklah mengetahui
adanya barang haram yang masuk kerumahku satu hari pun baik berupa
dinar, dirham atau pun yang lainnya”…oleh karena itu terlahirlah dari dia seorang putera yang merupakan imam besar, yang mana kitabnya adalah kitab yang paing shahih setelah Al-Qur’an yaitu Muhammad bin Isma’il Al-Bukari atau dikenal dengan imam Bukhari.[4]
Kisah Dua Orang Tua Yang Shalih
Tentu
kita ingat sebuah kisah disebutkan di dalam surat Al-Kahfi. Dikisahkan
bahwa Nabi Musa bersama khidir ‘alaihimassalam melewati sebuah
perkampungan. Keduanya pun meminta penduduk kampung untuk menjamu mereka
berdua, namun penduduk menolak. Selanjutnya Nabi Musa dan Khidir
‘alaihimassalam melihat sebuah bangunan yang hampir roboh. Tiba-tiba
nabi Khidir memperbaiki dinding tersebut hingga baik kembali. Maka nabi
Musa berkata, “Jika engkau berkehendak, tentu engkau bisa mengambil upah
atasnya.” Maka jawaban Nabi Khidir atas pertanyaan itu adalah:
وَأَمَّا
الْجِدارُ فَكانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكانَ
تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُما وَكانَ أَبُوهُما صالِحاً فَأَرادَ رَبُّكَ أَنْ
يَبْلُغا أَشُدَّهُما وَيَسْتَخْرِجا كَنزَهُما رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun
dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya
adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahfi: 82)
Demikianlah keshalihan dari orang tua akan mendatangkan rahmat bagi anak keturunannya.
Berkata imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Firman Allah Ta’ala “sedang ayahnya adalah seorang yang saleh”
terdapat faedah di dalamnya bahwa seorang yang shalih akan terjaga anak
keturunannya, termasuk juga ia akan merasakan barakah dari ibadah (anak
keturunan mereka) di dunia dan akherat, mendapatkan syafa’at mereka,
dan mengangkat derajat mereka sampai pada derajat yang tertinggi di
surga, hingga dia akan merasa bahagia dengan anak keturunannya. Hal ini
telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an juga di dalam As-Sunnah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Dua anak ini terjaga karena
keshalihan bapak mereka, padahal tidak disebutkan apakah kedua anak
tersebut shalih atau tidak. Sedangkan bapak mereka yang shalih adalah
bapak ketujuh mereka.[5]
Berkata Al-Hasan Al-Basri rahimahullah,
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ إِلَّا حَفِظَهُ اللَّهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ.
“Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia, kecuali Allah akan jaga anaknya dan anak-anak keturunannya setelahnya.”
Berkata Ibnul Munkadir,
إنَّ
اللَّهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ
وَالدُّوَيْرَاتِ الَّتِي حَوْلَهُ فَمَا يَزَالُونَ فِي حِفْظٍ مِنَ
اللَّهِ وَسِتْرٍ
“Allah
akan menjaga dari diri seorang yang shalih anaknya, anak dari anaknya
dan para keturunannya. Mereka selalu dalam penjagaan Allah dan ditutupi
kesalahan kesalahannya.”[6]
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu,
إن المعروف ليجزي به ولد الوالد
“Sesungguhnya perbuatan baik akan memberikan balasan baik terhadap anak cucu.”[7]
Berkata
Al-Hafidz Ibnul Jauzi, “Tatkala aku bertekad ingin memperoleh kemuliaan
dengan menikah serta menginginkan anak, maka aku pun beramal dengan
menghatamkan Al-Qur’an seluruhnya, kemudian aku berdo’a kepada Allah
Ta’ala agar Dia berkenan menganugerahkan kepadaku sepuluh anak, maka
kemudian aku pun mendapatkan sepuluh anak.”[8]
Salah
seorang ulama yang bernama Abul Ma’ali Al-Juwaini adalah seorang yang
biasa bekerja dan memberikan nafkah kepada istri dan anaknya yang masih
menyusu dengan nafkah yang halal. Dia selalu berpesan kepada istrinya
agar jangan sampai ada seorang pun menyusui anaknya. Kemudian suatu
ketika masuklah seorang pembantu kemudian dia menyusui anaknya beberapa
isapan!! Maka tatkala Abul Ma’alai mengetahui hal tersebut, dia pun
memasukkan jarinya kedalam mulut anaknya, hingga keluarlah air susu yang
masuk kemulutnya tersebut. Lebih ringan bagi saya kalau dia (anaknya)
meninggal dari pada dia rusak (agamanya) disebabkan meminum susu yang
bukan dari ibunya!! Perhatiakanlah di sini bagaimana satu suapan saja
dari sesuatu yang tidak halal bisa merusak pelakunya.
Lihatlah
bagaimana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah melarang salah
seorang cucunya yaitu Al-Hasan tatkala hendak memakan kurma sedekah.
Beliau bersabda,
«كِخْ كِخْ» لِيَطْرَحَهَا، ثُمَّ قَالَ: «أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ»
“Kikh, kikh (buanglah-bunaglah) kemudian beliau bersabda, Tahukah engkau bahwa kita tidak boleh memakan harta sedekah!!”[9]
Berkata salah seorang ulama tabi’in yang bernama Sa’id bin Al-Musayyib,
لأزيدنّ في صلاتي من أجلك…..
“Sungguh
aku akan menambah malan sholat (sunnah) ku untuk kemaslahatanmu…” Maka
anaknya berkata, “Mengapa demikian wahai ayahku?” Sa’id menjawab, “Aku
berharap diriku akan terjaga disebabkan kebaikanmu.”[10]
Perhatikanlah kisah yang diutarakan oleh imam Ahmad berikut,
حفَّظتني أمي القرآن وعمري عشر سنوات، وكانت توقظني قبل صلاة الفجر بوقت ليس بالقصير،وتحمي لي الماء؛ لأن الجو كان باردًا في بغداد، وتُلبسُني اللباس، ثم نصليأنا وإياها من قيام الليل ما شاء الله ، ثم ننطلق إلى المسجد وهي مغطاة بحجابها؛ لأن الطريق كانتبعيدة مظلمة موحشة لنصلي الفجر في المسجد، وتبقى معه حتى منتصف النهار لتعلمه القرآن والفقه. يقول: فلما بلغت السادسةعشرة قالت: يا بني سافِرْ في طلب الحديث؛ فإن طلب الحديث هجرة في سبيلالله. فأعدت له بعض متاع السفر من أرغفة الشعير ومن صُرَّة ملح، ثم قالت: إن الله إذا استُودِع شيئًا حفظه، فأستودعكالله الذي لا تضيع ودائعه
“Aku
hafal Al-Qur’an karena didikan ibuku semenjak aku berumur 10 tahun,
ibuku membangunkanku beberapa lama sebelum shalat subuh, kemudian ia
memanaskan air untukku; hal itu dikarenakan udara di Baghdad ketika itu
dingin, kemudian ia memakaikan baju untukku, disusul kemudian aku dan
dia mengerjakan shalat malam secara bersama-sama. Kemudian kami
sama-sama pergi kemasjid dalam keadaan ibuku berhijab; jalan menuju
masjid ketika itu jauh, gelap, dan menghawatirkan.” –kemudian
tetap menemani imam Ahmad sampai pertengahan siang untuk mempelajari
Al-Qur’an dan Fiqih-. Berkata imam Ahmad, “Maka tatkala aku berumur enam
belas tahun, berkata ibuku kepadaku, “Wahai anakku, pergilah engkau
untuk mencari hadits; karena sesungguhnya mencari hadits adalah jihad di
jalan Allah.” Kemudian ibuku menyediakan untukku beberapa perbekalan
safar seperti roti-roti yang sudah kering dan wadah garam. Kemudian ia
berkata kepadaku, “Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu, maka Dia
akan menjaganya, maka sesungguhnya aku menitipkanmu kepada Allah, yang
mana Dia tidak akan menyia-nyiakan titipan itu.”[11]
Lihatlah
bagaimana setelah itu imam Ahmad menjadi imam besar dan rujukan di
dalam masalah agama, hingga beliau digelari sebagai imam ahlus sunnah.
Dari didikan siapakah itu?! Tidak lain dari seorang ibu yang shalihah.
Hidup dalam kondisi yatim bukanlah alasan untuk berpangku tangan dan
pasrah, itulah yang sudah dibuktikan oleh ibu imam Ahmad dalam
mendidiknya.
Berkata imam Adz-Dzahabi di dalam pujiannya kepada imam Ahmad,
ووالله لقدبلغ في الفقه خاصة رتبة الليث، ومالك، والشافعي، وأبي يوسف، وفي الزهدوالورع رتبة الفضيل، وإبراهيم بن أدهم، وفي الحفظ رتبة شعبة، ويحيىالقطان، وابن المديني، ولكن الجاهل لا يعلم رتبة نفسه، فكيف يعرف رتبة غيره؟
“Sungguh
demi Allah, dalam masalah Fiqih dia (imam Ahmad) selefel dengan
Al-laits, Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Yusuf. Dalam hal kezuhudan dan
wara’ beliau selefel dengan Al-Fudhail dan Ibrahim bin Adham. Dalam
masalah hafalan beliau selefel dengan Syu’bah, Yahya bin Al-Qaththan,
dan Ibnul Madini. Hanya saja orang bodoh itu dia tidak tahu kedudukan
dirinya, apalagi mengetahui kedudukan orang lain.”
فليس اليتيم من مات أبواه … وخلفاه في الحياة ذليلا
إنما اليتيـم من تـراه له… أما تخلت أو أبا مشغولا
“Seorang yatim yang sebenarnya bukanlah seorang yang ditinggal mati oleh bapaknya, kemudian dia mengalami kehinaan setelahnya
Akan
tetapi seorang yatim yang sebenarnya adalah seorang yang masih memiliki
orang tua, akan tetapi ia tidak mendapatkan perhatian seorang bapak
karena kesibukannya.”[12]
[1] Al-Murabbi An-Najih: hal, 17-18. Dr. Kholid Sa’ad An-Najjar. Cet Dar Al-Kautsar.
[2] Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Tafsir surat An-Nisa: 2/1717.
[3] Ni’amun Bila syukr: Kholid Abu Syadi: hal. 10. Cet Dar Ar-Rayah.
[4] Al-Murabbi An-Najih: hal, 19-20.
[5] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Kahfi hal, 234 secara ringkas. Lihat Al-Mirabbi An-Najih: hal, 21.
[6] Jami’ Ulum Wal Hikam: hal, 250. Cet, Maktabah Fayyad Al-Qahirah. Tahqiq Hamdi Ad-Damradasy Muhammad.
[7] Diriwayatkan oleh Al-Khara’ity di dalam Makarimul Akhlak, lihat kitab Muntaqa-nya: hal, 37.
[8] Husnul Ukhwah: no, 94.
[9] HR. Bukhari: no, 1386.
[10] Al-Murabbi An-Najih: hal, 22.
[11]
Sumber:
http://www.iszlam.hu/index.php?option=com_content&view=article&id=105:2011-01-01-14-42-51&catid=52:2010-12-27-16-50-48&Itemid=77
[12] Ibid.
http://www.serambiyemen.com/2013/07/keshalihan-orang-tua-adalah-modal-utama-kebaikan-anak.html
0 komentar:
Posting Komentar