Ketahuilah wahai saudaraku, telah banyak hadits – hadits yang menyerukan agar kita tidak menjadikan ‘
kuburan‘ sebagai masjid, dan tidak menjadikan ‘
kuburan‘ sebagai berhala yang disembah selain Allah!
Ketahuilah perbuatan seperti ini adalah ‘perbuatan laknat’, yang mana Allah dan RasulNya melaknatnya. Ketahuilah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam ‘mendoakan laknat’ kepada yahudi dan nashrani, dimana mereka telah menjadikan KUBURAN NABI-NABI MEREKA sebagai masjid.
Lihatlah saudaraku, jika Yahudi dan Nashrani menjadikan kuburan nabi –
nabi dan orang shalih mereka sebagai masjid dikatakan terlaknat, maka
bagaimana halnya orang yang menjadikan
kuburan orang – orang fasiq atau orang-orang yang tidak diketahui asal – usulnya sebagai masjid? Tentu ini lebih jelek lagi!!
Berikut hadits-hadits yang datang dari Nabi kita yang mulia, Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang melarang keras umatnya untuk meniru perbuatan yahudi dan nashrani yang menjadikan
kuburan sebagai masjid:
1. Hadits ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring :
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah telah melaknat Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”.
Aku (‘Aisyah) berkata :
“Kalau bukan karena takut (laknat) itu, niscaya kuburan beliau
ditempatkan di tempat terbuka. Hanya saja beliau takut kuburannya itu
akan dijadikan sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1330, Muslim no. 529, Ahmad 6/80
& 121 & 255, Ibnu Abi Syaibah 2/376, Abu ‘Awaanah 1/399,
Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 508, Al-Khathiib dalam Taariikh
Baghdaad 13/52 & 183, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 7730, dan
yang lainnya].
2. Hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تل الله اليهود، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Semoga Allah memerangi (mengutuk) orang-orang Yahudi! (disebabkan) mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 437, Muslim no. 530, Abu Dawud no.
3227, An-Nasa’iy 4/95, Abu Ya’laa no. 5844, Ahmad 2/284, dan yang
lainnya]
3. Hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhum
Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, mereka berdua berkata :
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kesehatannya menurun
pada saat-saat akhir hidupnya, beliau menutupkan kain khamishah-nya
(selimut wolnya) pada wajahnya, namun beliau melepas kain tersebut dari
wajahnya ketika bapasnya semakin terganggu seraya bersabda :
لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashrani dimana mereka telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”.
Aisyah berkata :
“Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 435 & 436, Muslim no. 531, Ibnu
Hibban no. 6619, Abu ‘Awaanah 1/399, An-Nasa’i 1/115; dan yang lainnya]
Al-Haafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata tentang hadits di atas :
“Seakan-akan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui
bahwa beliau akan wafat melalui sakit yang beliau derita, sehingga
beliau khawatir kubur beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah
dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat
orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan
bagi orang yang berbuat seperti perbuatan mereka”
[Fathul-Baariy, 1/532].
4. Hadits ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata:
Ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam jatuh sakit, maka
beberapa orang istri beliau sempat membicarakan tentang sebuah gereja
yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia) yang diberi nama : Gereja
Maria – dimana Ummu Salamah dan Ummu Habibah pernah mendatangi negeri
Habasyah -, kemudian mereka (sebagian istri Nabi) membicarakan keindahan
gereja dan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya.
‘Aisyah melanjutkan :
“(Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya) seraya bersabda:
أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً ، ثم صوروا تلك الصور ، أولئك شرار الخلق عند الله [ يوم القيامة
‘Mereka itu adalah orang-orang yang apabila orang shalih mereka
meninggal dunia, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya tersebut,
lalu menggambar dengan gambar-gambar tersebut. Mereka itu adalah
sejelek - jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 434, Muslim 528, Abu ‘Awaanah
1/400-401, Ibnu Hibban no. 3181, An-Nasa’i 2/41, Al-Baihaqiy 4/80; dan
yang lainnya].
5. Hadits Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu
Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu :
Bahwasannya dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum hari wafatnya :
قد كان لي فيكم إخوة وأصدقاء
“Aku memiliki beberapa saudara dan teman di antara kalian.
ولو كنت متخذا من أمتي خليلاً
Dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari memiliki kekasih (khalil) di antara kalian.
وإن الله عز وجل قد اتخذني خليلاً كما تخذ إبراهيم خليلاً
Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan diriku sebagai kekasih, sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.
لاتخذت أبا بكر خليلا
Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih.
ألا [ وإن ] من كان قبلكم [ كانوا ] يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد
Dan ketahuilah, (sesungguhnya) orang-orang sebelum kalian telah
menjadikan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih diantara mereka
sebagai masjid.
فإني أنهاكم عن ذلك
(Maka) Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 532 dan Abu ‘Awanah 1/401].
6. Hadits Al-Harits An-Najrani radliyallaahu ‘anhu
Dari Al-Harits An-Najrani dia bercerita :
Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat lima hari sebelum wafat :
ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah
menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang shalih di antara
mereka sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai
masjid. Sesunguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/374-375; shahih sesuai persyaratan Muslim].
7. Hadits Usamah bin Zaid
radliyallaahu ‘anhuma
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menderita sakit yang menyebabkan wafatnya beliau :
أدخلوا علي أصحابي
“Masuklah wahai para shahabatku”.
Maka mereka masuk sedangkan beliau dalam keadaan tertutup selimut mu’afir.
(Lalu beliau membukanya) dan bersabda :
لعن الله اليهود [ والنصارى ] اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Allah telah melaknat orang-orang Yahudi (dan Nashrani) yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 669; Ahmad 5/204; Ath-Thabaraniy
dalam Al-Kabiir no. 393 & 411, Ibnu Sa’d 2/241, Al-Haakim 4/194,
dan yang lainnya; hasan dengan syawaahid-nya]
8. Hadits Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah
radliyallaahu ‘anhu
Dari Abu ‘Ubaidah ia berkata :
“Kalimat terakhir yang diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah :
اخرجوا يهود أهل الحجاز وأهل نجران من جزيرة العرب واعلموا ان شرار الناس الذين اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
‘Usirlah kaum Yahudi Hijaz dan Najran dari Jazirah ‘Arab.
Ketahuilah, sesungguhnya seburuk – buruk manusia adalah yang menjadikan
kubur para Nabi mereka sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 1/195 no. 1691 & 1694; Al-Bukhari dalam
At-Taariikh Al-Kabiir 4/57, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy
no. 235-236, Abu Ya’laa Ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar 4/13; Abu
Ya’la no. 872, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 4/12, dan yang
lainnya; shahih].
9. Hadits Zaid bin Tsabit
radliyallaahu ‘anhu
Dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhu:
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Allah telah melaknat orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/184 & 186 dan ‘Abd bin Humaid no. 244; shahih dengan syawahid-nya].
10. Hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (beliau bersabda):
اللهم لا تجعل قبرى وثنا لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala.
Allah melaknat kaum yang menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai
masjid”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 2/246, Al-Humaidiy no. 1020, Ibnu Sa’d
2/241-242, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 5/43-44, Al-Bukhari dalam
At-Taariikh Al-Kabiir 3/47, dan yang lainnya; shahih].
Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu
‘Abdil-Barr rahimahumallah dalam kitab Al-Kawaakibud-Daraari :
“Al-Watsan itu maknanya patung. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تجعل قبري صنماً يصلى ويسجد نحوه ويعبد
“Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai patung/berhala yang menjadi kiblat shalat, tempat bersujud, juga tempat beribadah”.
(Dha’if, HR. Maalik)
Dan Allah sangat murka kepada orang yang melakukan hal tersebut.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah
memperingatkan para shahabat dan seluruh umatnya tentang perbuatan buruk
umat-umat terdahulu, karena mereka shalat menghadap kuburan para Nabi
mereka serta menjadikannya sebagai kiblat dan masjid.
Sebagaimana penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai objek
sesembahan yang diagungkan. Perbuatan tersebut merupakan syirik akbar.
Dan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
memberitahukan bahwa perbuatan tersebut mengundang kemurkaan dan
kemarahan Allah ta’ala dan Dia tidak akan pernah meridlainya. Hal
tersebut disampaikan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena beliau khawatir umatnya akan meniru perbuatan mereka.
Dan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa memperingatkan umatnya agar tidak menyerupai Ahlul-Kitaab dan orang-orang kafir.
Dan beliau juga khawatir bila umatnya akan mengikuti jejak mereka.
Tidakkah engkau mengetahui sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengungkapkan celaan dan kemarahan :
لتتبعن سنن الذين كانوا من قبلكم حذوا النعل بالنعل ، حتى إن أحدهم لو دخل جحر ضب لدخلتموه
“Sungguh kalian akan mengikuti jejak-jejak orang sebelum kalian
sama persis, setapak demi setapak; sehingga salah seorang dari mereka
masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan memasukinya pula”
[Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly 2/90/65 – melalui perantaraan Tahdziirus-Saajid].
11. Hadits Abdullah bin Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu
Dari Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ان من شرار الناس من تدركه الساعة وهم أحياء ومن يتخذ القبور مساجد
“Sesungguhnya sejelek – jeleknya manusia adalah orang yang
menjumpai hari kiamat saat masih hidup, dan juga orang yang menjadikan
kubur sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 1/405 & 435, Ath-Thabaraniy no. 10413,
Ibnu Abi Syaibah 3/345, Al-Bazzaar no. 3420, Abu Ya’laa no. 5316, Ibnu
Khuzaimah no. 789, Ibnu Hibbaan no. 6847, dan yang lainnya; hasan].
12. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib
radliyallaahu ‘anhu
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu pernah menemuiku seraya berkata:
‘Wahai ‘Ali, mari ikut kami mengunjungi para Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Mungkin ada sesuatu hal yang perlu kita tanyakan.
Kalau tidak, beliau akan memberikan wasiat kepada orang-orang melalui
kita’.
Kemudian kami masuk menemui beliau, sedangkan beliau dalam keadaan berbaring karena sakit. Lalu beliau mengangkat kepalanya :
لعن الله اليهود اتخذوا قبور لأنبياء مساجد
“Allah telah melaknat orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid “.
Dalam sebuah riwayat ditambahkan :
“Kemudian beliau mengatakan yang ketiga kalinya. Dan ketika kami
melihat apa yang terjadi pada beliau, maka kami pun keluar dan tidak
menanyakan sesuatu pun kepada beliau”
[HR. Ibnu Sa’ad 4/28 dan Ibnu ‘Asaakir 12/172/2; hasan].
13. Hadits Ummahatul-Mukminin
radliyallaahu ‘anhunna
Dari Ummahatul-Mukminiin:
Bahwasannya para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya :
“Bagaimana kami harus membangun kubur Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, apakah kami boleh menjadikannya sebagai masjid ?”
Maka Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu menjawab :
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid”
[HR. Ibnu Zanjawaih dalam kitab Fadlaailush-Shiddiq sebagaimana disebutkan dalam Al-Jamii’ul-Kabiir 3/147/1]
Apa makna larangan :
“Menjadikan Kubur Sebagai Masjid
{ اتخاذ القبور مساجد } ?
Para ulama telah menjelaskan bahwa kalimat tersebut mencakup tiga makna, yaitu :
1. Larangan
shalat di atas kubur
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:
“Menjadikan kubur sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya”
[Az-Zawaajir, 1/121].
Makna ini diperkuat oleh hadits :
لا تصلوا إلى قبر ، ولا تصلوا على قبر
“Janganlah kalian shalat menghadap ke arah kubur dan jangan pula shalat di atasnya”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir; shahih].
2. Al-Imam Al-Munawi
rahimahullah berkata :
“Mereka menjadikan kubur para nabi itu sebagai arah kiblat mereka
akibat keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan kubur itu sebagai
masjid menuntut konsekuensi pembangunan masjid di atasnya, dan juga
sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu
karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan.
Al-Qadli (yaitu Al-Baidlawi) mengatakan :
‘Orang-orang Yahudi bersujud kepada kubur para Nabi sebagai
pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat. Mereka
juga menghadap ke kubur itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya.
Sehingga dengan demikian, mereka telah menjadikannya sebagai berhala
yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin
melakukan hal tersebut’.”
[selesai – Faidlul-Qadiir Syarh Al-Jamii’ Ash-Shaghiir – melalui perantara Tahdziirus-Saajid halaman 21; Maktabah Meshkat].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr
rahimahullah berkata :
“Dikatakan maknanya adalah larangan terhadap sujud di atas kubur para Nabi. Dan juga dikatakan bahwa maknanya adalah larangan untuk menjadikannya sebagai kiblat dimana ia shalat menghadapnya”
[Tanwiirul-Hawaalik Syarh Muwaththa’ Malik no. 414; Maktabah Sahab].
Makna ini dikuatkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تجلسوا على القبور ، و لا تصلوا إليها
“Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadap ke arahnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim 3/62; Abu Dawud no. 3229; Ahmad 4/135;
An-Nasa’iy 2/67, At-Tirmidzi no. 1050; dan yang lainnya. Sanad hadits
ini jayyid (baik)].
3. Larangan mendirikan masjid di atas kubur dan tujuan mengerjakan
shalat di dalamnya
Pengertian ini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Bukhari ketika memberikan bab dalam kitab Shahih-nya :
{ باب ما يكره من اتخاذ القبور مسجداً على القبور}
“Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kubur”.
Makna ini adalah sebagaimana yang terambil dalam hadits :
أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً
“Mereka itu adalah orang-orang yang apabila orang shlih mereka
meninggal dunia, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya tersebut”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 434, Muslim 528, Abu ‘Awaanah
1/400-401, Ibnu Hibban no. 3181, An-Nasa’i 2/41, Al-Baihaqiy 4/80; dan
yang lainnya].
“Dari ketiga makna ini –
wallahi – hampir semua dikerjakan
oleh para pecinta kubur ! Banyak sekali di antara mereka – dengan alasan
tabarruk dan tawassul – melakukan doa dan shalat di samping atau
menghadap kubur.
Betapa banyak masjid di Indonesia ini yang terdapat kuburannya baik
di dalam, di arah kiblat, atau di samping masjid ?! Lihatlah di Cirebon,
Ampel, atau daerah-daerah sekitar Madura. Dan saya pribadi pernah
“terperosok” sewaktu shalat shubuh di Masjid Agung Kabupaten Temanggung
Jawa Tengah yang ternyata di arah kiblatnya ada makam “wali”-nya.
Inilah budaya/kultur yang dipelihara oleh pecinta kubur masyarakat kita.”
Larangan shalat di masjid yang ada kuburannya
Sebagai tambahan,….
larangan shalat dan mendirikan masjid itu bukan hanya jika kubur itu
terletak di dalam atau di depan masjid! Namun secara umum, termasuk di
samping atau belakang masjid (selama kuburan tersebut masih berada di
komplek masjid).
Dalilnya adalah sebagai berikut :
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
الارض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
“Bumi ini secara keseluruhan adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83 & 96, Abu Dawud no. 492,
At-Tirmidziy no. 317, Ibnu Majah no. 745, Abu Ya’laa no. 1350, Ibnu
Khuzaimah no. 791-792, dan yang lainnya; shahih].
Al-Maqbarah {المقبرة} adalah isim makan (tempat) yang bentuk jamaknya
Al-Maqaabir {المقابر}; yang artinya setiap tanah yang
ditanam/dikuburkan seorang mayit. Adalah salah jika ada orang yang
menganggap bahwa al-maqaabir ini merupakan bentuk jamak dari al-qubr
(القبر).
Maka larangan untuk melakukan shalat (dan juga tentunya mendirikan
masjid) di sini berlaku untuk kubur satu orang atau lebih (seperti di
daerah pekuburan); baik menghadap kubur atau membelakangi, di sebelah
kanan atau di sebelah kirinya. Ini semua terlarang, sebab dua hadits di
atas lafadhnya adalah mutlak (yaitu larang shalat di kubur dan juga di
antara kubur).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Ahmad rahimahumallah dalam permasalahan ini :
“Tidak ada perbedaan pendapat antara Ahmad dan shahabat-shahabatnya
(yaitu para ulama Hanabilah) dalam permasalahan ini. Akan tetapi
keumuman perkataan, ta’lil, dan istidlal mereka adalah menetapkan
pelarangan shalat di samping kubur, walau itu satu kuburan saja1. Dan
itulah yang benar.
Dan yang disebut Al-Maqbarah adalah setiap tanah dibuat untuk
mengubur (mayat). Al-Maqbarah bukanlah bentuk jamak dari Qabr (kubur).
Dan telah berkata sebagian shahabat-shahabat kami :
“Setiap yang masuk dalam definisi Al-Maqbarah adalah setiap
sesuatu yang berada di sekitar kubur yang tidak boleh digunakan untuk
shalat”.
Dan ini menentukan bahwa larangan tersebut mencakup lingkup kuburan yang terpencil bersama halaman sekitarnya”
[Al-Ikhtiyaaratul-‘Ilmiyyah hal. 25 melalui perantaraan
Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushallin hal. 32, Maktabah Al-Misykah
dan Tamamul-Minnah hal. 298 Daarur-Rayah].
Al-Muhaqqiq Muhammad Yahya Al-Kandahlawi Al-Hanafi rahimahullah berkata :
“Adapun membangun kubur termasuk tasyabbuh (meniru) perbuatan Yahudi
dan menjadikan kubur para Nabi dan para tokoh sebagai masjid termasuk
pengagungan terhadap mayit dan meniru para penyembah berhala meskipun
masjid itu berada di samping kubur. Jika kubur berada di arah kiblat,
maka lebih dibenci daripada di samping kanan atau kiri. Jika berada di
belakang orang-orang shalat, maka itu lebih ringan namun tidak lepas
dari hukum makruh”
[Al-Kawaakibud-Daraari ‘alaa Jamii’it-Tirmidzi hal. 153]
Apa makna
“pemakruhan” yang dikatakan para ulama diatas?
Perlu diketahui bahwa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah ketika
menuliskan “Maa Yukrahu….” (Apa-Apa yang Dimakruhkan….) dalam kitab
Shahih-nya, bisa mengandung dua pengertian, yaitu : 1) bermakna bukan
tahrim; dan 2) bermakna tahrim.
Saya contohkan bab yang ditulis beliau rahimhullah dengan makna pertama :
1. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan Tidur Sebelum ‘Isya’
{ باب ما يكره من النوم قبل العشاء }
2. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Meninggakan Shalat Malam Bagi Mereka yang Telah Biasa Mengerjakannya
{ باب ما يكره من ترك قيام الليل لمن كان يقومه }
3. dan lain-lain.
Adapun yang makna kedua (tahrim/pengharaman) :
1. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Niyahah (Meratap) terhadap Mayit
{ باب ما يكره من النياحة على الميت }
2. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Shalat Jenazah terhadap
Orang-Orang Munafik dan Meminta Ampunan terhadap Orang-Orang Musyrik
{ باب ما يكره من الصلاة على المنافقين والاستغفار للمشركين }
3. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Namimah (Mengadu Domba)
{ باب ما يكره من النميمة}
4. dan lain-lain.
Lantas,…. bagaimana dengan menjadikan kubur sebagai masjid ? Tidak
diragukan lagi bahwa yang dimaksudkan makruh dalam perkataan Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullah adalah bermakna tahrim (pengharaman).
Apa indikasinya ? Indikasinya adalah bahwa lafadh hadits yang dibawakan oleh Al-Imam Bukhari
rahimahullah dalam
Bab “Maa Yukrahu Min-Ittikhaadzil-Masaajidi ‘alal-Qubuur” merupakan lafadh-lafadh laknat.
Sesuai dengan kaidah Ushul-Fiqh bahwa lafadh laknat mempunyai konsekuensi pada pengharaman.
[lihat Badai’ul-Fawaaid 4/5-6].
Contohnya adalah firman Allah :
إِنّ الّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِناتِ لُعِنُواْ فِي الدّنْيَا وَالاَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang
lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar
[QS. An-Nuur : 23]
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة
“Allah telah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang
meminta disambung rambutnya; juga wanita yang mentato dan yang minta
ditato”
[HR. Bukhari no. 5589].
Dan perlu diketahui bahwa kalimat “makruh/karahah” dalam syari’at
banyak yang menunjukkan pada makna haram (dan ini adalah madzhab ulama
mutaqaddimiin). Misalnya: Setelah Allah menyebutkan tentang larangan
berbuat syirik, larangan durhaka kepada dua orang tua, larangan bersikap
boros, dan yang lainya. 2
Maka Allah menutupnya dengan :
ذَلِكَ كَانَ سَيّئُهُ عِنْدَ رَبّكَ مَكْرُوهاً
“Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabbmu”
[QS. Al-Israa’ : 38].
Juga Allah berfirman :
وَلَـَكِنّ اللّهَ حَبّبَ إِلَيْكُمُ الأِيمَانَ وَزَيّنَهُ فِي
قُلُوبِكُمْ وَكَرّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan
menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu
benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan”.
[QS. Al-Hujuraat : 7].
Makna makruh dalam dua ayat di atas adalah haram. Kecuali,…. bila ada
yang mengatakan syirik, durhaka pada orang tua, kefasikan, kemaksiatan,
dan sikap boros itu hanya sebatas makruh, dimana orang yang
meninggalkannya mendapat pahala dan yang mengerjakannya tidak dibebani
dosa……. (Allåhul Musta’aan)
Oleh karena itu, perkataan makruh ulama di bawah juga menunjukkan pengharaman.
Telah berkata Abu Bakr Al-Atsram :
Aku mendengar Abu ‘Abdillah – yaitu Ahmad – ditanya tentang shalat
yang dilakukan di kuburan (maqbarah), maka ia me-makruh-kannya. Lalu
ditanyakan kepadanya : “Bagaimana tentang masjid yang berada di antara
kubur ?”. Ia pun me-makruh-kannya hal itu juga”
[Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab, 3/195].
“Pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ahli ilmu/ulama adalah makruh
mengerjakan shalat di kuburan, berdasarkan hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy
radliyallaahu ‘anhu. Dan begitulah yang menjadi pendapat kami”
[Al-Ausath, 2/185].
Kesimpulan di point ini adalah bahwa
menjadikan kubur sebagai masjid dan
shalat di dalamnya adalah
haram.
Syubhat dan Jawaban
Syubhat
Lantas bagaimana dengan ayat:
وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوَاْ أَنّ وَعْدَ اللّهِ حَقّ وَأَنّ السّاعَةَ لاَ رَيْبَ فِيهَا
إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُواْ ابْنُواْ
عَلَيْهِمْ بُنْيَاناً رّبّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الّذِينَ غَلَبُواْ
عَلَىَ أَمْرِهِمْ لَنَتّخِذَنّ عَلَيْهِمْ مّسْجِداً
Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar
manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa
kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang
itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan
sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui
tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata:
“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”
[QS. Al-Kahfi : 21]
Bukankah makna dalam ayat tersebut terkandung bahwa:
Mayoritas masyarakat ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk
membangun masjid di sisi makam para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu
kita sepaka bahwa al-Quran bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya
begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa
memuat ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin.
Jika kisah pembuatan masjid di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan
perbuatan syirik maka pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan menyindir dan
mengkritik hal itu dalam lanjutan kisah al-Quran tadi, karena syirik
adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun terbukti Allah subhanahu wa ta’ala tidak melakukan peneguran
baik secara langsung maupun secara tidak langsung (sindiran). Atas dasar
itu pula terbukti para ulama tafsir Ahlusunah menyatakan bahwa para
penguasa kala itu adalah orang-orang yang bertauhid kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, bukan kaum musyrik penyembah kuburan (Quburiyuun).
Jawaban
1. Telah masyhur dalam kaidah Ushul tentang
{ أن شريعة من قبلنا ليست شريعة لنا}
“
Syari’at orang-orang sebelum kita pada asalnya tidaklah menjadi syari’at kita”. 3
Apalagi jika itu bertentangan secara jelas dengan apa yang dibawa
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Syari’at orang-orang
sebelum kita hanyalah bisa kita terima jika memang sesuai dan tidak
bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Banyak sekali nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menjelaskannya. Satu contoh : Allah telah menetapkan hari Sabtu untuk
orang Yahudi sebagai hari beribadah, sebagaimana firman-Nya :
إِنّمَا جُعِلَ السّبْتُ عَلَىَ الّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ
Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya.
[QS. An-Nahl : 124].
Jika mengikuti alur logika Saudara, tentu kita juga wajib untuk
mengagungkan hari Sabtu. Sebab, ini merupakan firman dan perintah dari
Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Namun,….. apakah memang begini pola berpikirnya ? Kewajiban
tersebut telah mansukh dan tidak berlaku bagi umat Islam, sebab Allah
telah menetapkan hari khusus bagi umat Islam, yaitu hari Jum’at.
Begitu pula untuk kasus pendirian masjid di atas kuburan. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa hal itu bukan merupakan syari’at Islam dengan sabdanya :
Dari Al-Harits An-Najrani dia bercerita : Aku pernah mendengar Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat lima hari sebelum
wafat :
ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah
menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang shalih di antara
mereka sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai
masjid. Sesunguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/374-375; shahih sesuai persyaratan Muslim].
2. Jika jawaban no.1 ditolak, maka dalam ayat tersebut juga tidak ada
pernyataan secara tegas bahwa pembangunan masjid itu merupakan syari’at
dan perintah dari Allah atau merupakan tindakan raja/penguasa semata.
Perhatikan secara cermat ayat tersebut :
وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوَاْ أَنّ وَعْدَ اللّهِ
حَقّ وَأَنّ السّاعَةَ لاَ رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ
أَمْرَهُمْ فَقَالُواْ ابْنُواْ عَلَيْهِمْ بُنْيَاناً رّبّهُمْ أَعْلَمُ
بِهِمْ قَالَ الّذِينَ غَلَبُواْ عَلَىَ أَمْرِهِمْ لَنَتّخِذَنّ
عَلَيْهِمْ مّسْجِداً
Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka,
agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa
kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang
itu berselisih tentang urusan mereka., orang-orang itu berkata: “Dirikan
sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui
tentang mereka” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata:
“Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”
[QS. Al-Kahfi : 21].
Ayat tersebut mengandung ihtimal (kemungkinan) bahwa orang yang
berniat dan memerintahkan untuk membangun masjid di atas goa -yakni,
tempat kubur para pemuda Ashaabul-Kahfi- adalah orang-orang kafir di
zaman itu.
Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas menukil perkataan Ibnu
Jarir Ath-Thabari bahwa ada dua pendapat mengenai status orang-orang
tersebut :
Pertama, mereka adalah orang-orang Islam di antara mereka; dan Kedua, mereka adalah orang-orang musyrik di antara mereka.
Dan di sini, kemungkinan kedua lah yang nampaknya lebih kuat. Hal ini
didasari oleh dalil tentang laknat Allah kepada orang Yahudi.
Dari Abi Hurairah
radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
قاتل الله اليهود، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Semoga Allah memerangi (mengutuk) orang-orang Yahudi dimana mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 437, Muslim no. 530, Abu Dawud no.
3227, An-Nasa’iy 4/95, Abu Ya’laa no. 5844, Ahmad 2/284, dan yang
lainnya].
Dalam hadits di atas (juga hadits-hadits lain sebagaimana telah
dituliskan sebelumnya) nampak bahwa larangan menjadikan kubur sebagai
masjid (tempat peribadatan) telah ada semenjak jaman para Nabi diutus
kepada orang Yahudi. Dan ini tentu jauh sebelum jaman Nabi Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Maka dari itu Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly
rahimahullah ketika
menjelaskan hadits pelaknatan Allah kepada kaum Yahudi yang telah
menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid; mengatakan :
“Al-Qur’an juga telah menunjukkan seperti apa yang ditunjukkan oleh
hadits ini, yaitu firman Allah ‘azza wa jalla tentang kisah
Ashhaabul-Kahfi :
قال الذين غلبوا على أمرهم لنتخذن عليهم مسجداً
“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”
(QS. Al-Kahfi : 21)
Dengan demikian, Allah
‘azza wa jalla telah mengkatagorikan
tindakan menjadikan kubur sebagai masjid merupakan perbuatan orang-orang
yang berkuasa mengendalikan urusan. Dan itu menunjukkan bahwa
sandarannya adalah pemaksaan dan kekuasaan serta ketundukan terhadap
hawa nafsu. Hal itu bukan merupakan perbuatan ulama yang selalu
mendapatkan pertolongan Allah, dimana Allah telah menurunkan beberapa
petunjuk-Nya kepada Rasul-Nya”
[Fathul-Baari bi-Syarhil-Bukhari 65/280 oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly – melalui perantara Tahdziirus-Saajid hal. 42]
Tambahan dari
muslim.or.id :
Sebagian orang menyampaikan syubhat mengenai masjid Nabawi (di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Madinah). Jika memang shalat di masjid yang ada kubur terlarang, lantas
bagaimana dengan keadaan masjid Nabawi itu sendiri? Bukankah di
dalamnya ada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah mengatakan bahwa syubhat ini adalah talbis, yaitu ingin menyamarkan manusia. (Durus Syaikh Sholeh Al Fauzan, Al Muntaqo).
Cukup, syubhat di atas dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berikut ini:
- Masjid
Nabawi tidaklah dibangun di atas kubur. Bahkan yang benar, masjid
Nabawi dibangun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah di kubur di masjid sehingga bisa disebut dengan orang sholeh
yang di kubur di masjid. Yang benar, beliau dikubur di rumah beliau.
- Pelebaran masjid Nabawi hingga sampai pada rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah ‘Aisyah bukanlah hal yang disepakati oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Perluasan itu terjadi ketika sebagian besar sahabat telah meninggal dunia dan hanya tersisa sebagian kecil dari mereka.
- Perluasan
tersebut terjadi sekitar tahun 94 H, di mana hal itu tidak disetujui
dan disepakati oleh para sahabat. Bahkan ada sebagian mereka yang
mengingkari perluasan tersebut, di antaranya adalah seorang tabi’in,
yaitu Sa’id bin Al Musayyib. Beliau sangat tidak ridho dengan hal itu.
Kubur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah di masjid, walaupun sampai dilebarkan. Karena kubur beliau di
ruangan tersendiri, terpisah jelas dari masjid. Masjid Nabawi tidaklah
dibangun dengan kubur beliau. Oleh karena itu, kubur beliau dijaga dan
ditutupi dengan tiga dinding. Dinding tersebut akan memalingkan orang
yang shalat di sana menjauh dari kiblat karena bentuknya segitiga dan
tiang yang satu berada di sebelah utara (arah berlawanan dari kiblat).
Hal ini membuat seseorang yang shalat di sana akan bergeser dari arah
kiblat. (Al Qoulul Mufid, 1: 398-399)
Penutup
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa Allah, RasulNya, para shahabat
RasulNya dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik telah
mengingatkan kita akan perbuatan yang sangat terlaknat ini; marilah kita
menyimak penjelasan berikut sebagai penutup pembahasan ini…
Allah
ta’ala berfirman :
قَالَ نُوحٌ رّبّ إِنّهُمْ عَصَوْنِي وَاتّبَعُواْ مَن لّمْ يَزِدْهُ
مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاّ خَسَاراً * وَمَكَرُواْ مَكْراً كُبّاراً *
وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً
وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً * وَقَدْ أَضَلّواْ كَثِيراً
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan
telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah
kepadanya melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat
besar.” Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq
dan nasr”. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia).
[QS. Nuh : 21-24].
Terkait ayat di atas, Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullah menyebutkan satu hadits dalam Shahih-nya :
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma (ia berkata) :
“Patung-patung yang ada di kaum Nuh menjadi sesembahan orang Arab setelah itu.
(Patung) Wadd menjadi sesembahan bagi Bani Kalb di Dumatul-Jandal,
(patung) Suwaa’ bagi Bani Hudzail, (patung) Yaghuuts bagi Bani Murad dan
Bani Ghuthaif di Al-Jauf sebelah Saba’, Ya’uuq bagi Bani Hamdaan, dan
Nasr bagi Bani Himyar dan kemudian bagi keluarga Dzul-Kalaa’.
Mereka adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nuh.
Ketika mereka meninggal, maka syaithan membisikkan kepada kaum mereka
(yaitu kaum Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka dalam
majelis-majelis dimana kaum Nuh biasa mengadakan pertemuan, sekaligus
memberi nama patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Maka mereka
pun melakukannya. Patung tersebut tidaklah disembah pada waktu itu.
Akhirnya setelah generasi pertama mereka meninggal dan ilmu telah
dilupakan, maka patung-patung tersebut akhirnya disembah”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4920].
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari
rahimahullah menukil perkataan Muhammad bin Qais dalam Tafsir-nya sebagai berikut :
“Mereka (Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr) adalah kaum shalih dari bani Adam yang mempunyai banyak pengikut.
Ketika mereka meninggal, maka berkatalah shahabat-shahabat dari kalangan pengikut mereka :
‘Jika kita membuat gambar-gambar mereka, maka kita akan semakin tekun beribadah ketika mengingat mereka’.
Maka mereka pun membuat gambar mereka. Ketika mereka (generasi
pertama) meninggal, datanglah generasi berikutnya dimana Iblis mulai
melakukan tipu daya kepada mereka.
Iblis berkata :
‘Orang-orang sebelum kamu membuat gambar-gambar tersebut tidak lain
hanyalah untuk menyembah orang-orang shalih tersebut yang dengannya
mereka meminta diturunkan hujan’.
Akhirnya mereka pun menyembahnya”
[Tafsir Ath-Thabari, QS. Nuh : 23-24].
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah berkata :
“Mula-mula para pendahulu mereka membuat patung orang-orang shalih
itu adalah agar dapat meneladani mereka dan mengenang mengingat
perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat memiliki kesungguhan
beribadah yang sama seperti mereka. Karenanya, mereka menyembah Allah di
sisi kuburan mereka.
Kemudian setelah mereka meninggal, datanglah generasi generasi yang
tidak mempunyai pengetahuan cukup terhadap agama sehingga tidak mengerti
maksud pendahulu mereka, lalu syaithan membisikkan pada mereka bahwa
pendahulu mereka tersebut menyembah patung-patung itu dan
mengagungkannya.
Oleh karena itulah, Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam
melarang terjadinya hal demikian untuk menutup rapat-rapat segala hal
yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut (Saddu lidz-Dzari’ah)”
[Lihat Fathul-Majiid hal. 218 – Maktabah Taufiqiyyah, Cairo].
Dalam kesempatan lain Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah juga berkata :
“Semua itu dimaksudkan untuk memutus jalan yang menjurus kepada
ibadah terhadap orang yang ada di dalam kubur tersebut. Sebagaimana
halnya yang terjadi pada orang-orang yang menyembah berhala”
[idem, hal. 220].
Al-Imam Ibnu Baththal
rahimahullah ketika menjelaskan hukum menjadikan kubur kaum muslimin sebagai masjid/tempat ibadah, menukil perkatan Al-Muhallab :
“Sesungguhnya termasuk larangan dari hal itu wallaahu a’lam.
Yaitu dikarenakan untuk memutuskan perantara dan pendekatan diri mereka
dalam beribadah kepada berhala, serta memutuskan upaya menjadikan gambar
dan patung sebagai sesembahan”4
[Syarhul-Bukhari li-Ibni Baththal Al-‘Ukbari 3/96].
Al-Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durrul-Mantsur (6/269) berkata :
Diriwayatkan oleh ‘Abdun bin Humaid dari Abu Muthahhir, dia bercerita
di sisi Abu Ja’far (yaitu Al-Baqir) Yazib bin Al-Muhallab, dia
bercerita :
“Sesungguhnya dia telah terbunuh di permukaan bumi yang menjadi tempat penyembahan selain Allah”.
Kemudian dia menyebutkan Wadd. Dia menyebutkan bahwa Wadd adalah
seorang muslim yang sangat dicintai kaumnya. Ketika meninggal dunia,
kaumnya berkumpul di sekitar kuburnya di tanah Babil. Dan mereka pun
merasa kasihan padanya.
Ketika Iblis mengetahui kesedihan mereka padanya, Iblis tersebut kemudian berpakaian menyerupai manusia dan kemudian berkata,
”Aku tahu rasa sedih kalian terhadap orang ini. Apakah kalian mau aku
buatkan gambar sesuatu yang mirip dengannya, sehingga dengan tetap
berada di perkumpulan kalian, kalian bisa mengingatnya ?”.
Mereka menjawab :
“Mau”.
Lalu Iblis membuat gambar yang mirip dengan orang shalih tersebut
(Wadd), kemudian mereka meletakkannya di tempat perkumpulan mereka
sambil mengingat-ingatnya.
Setelah mereka selalu mengingat-ingatnya Iblis pun berkata,
”Apakah kalian mau aku buatkan patung yang menyerupai wajahnya di rumah masing-masing kalian ?”
Mereka menjawab:
“Mau”.
Lalu Iblis pun membuatnya lagi setiap rumah satu patung yang
menyerupai orang shalih tersebut. Mereka pun menyambutnya dan
terus-menerus mengingat orang tersebut melalui patung itu”.
Kemudian ia (Al-Baqir) menceritakan :
“Anak-anak mereka pun mengetahui hal itu seraya melihat yang mereka
kerjakan dengan patung itu. Hingga akhirnya mereka melahirkan banyak
keturunan. Lalu, anak-anak mereka pun mempelajari cara mengingat orang
shalih tersebut melalui patung itu, hingga akhirnya mereka menjadikannya
sebagai ilah (sesembahan) selain Allah”
[selesai]
Dari riwayat tersebut, para ulama telah menjelaskan bahwa sebenarnya generasi pertama kaum Nuh bukanlah penyembah berhala.
Namun kemudian mereka tertipu oleh Iblis/syaithan untuk membuat hal-hal
yang mereka anggap dapat menyempurnakan ibadah mereka, namun ternyata
malah membuka jalan ke pintu kesyirikan.
Sama halnya dengan pembangunan masjid di kuburan yang diniatkan untuk
bertabarruk dan mengenang orang-orang shalih yang telah meninggal.
Mereka menganggap bahwa beribadah di masjid tersebut lebih afdlal dan
lebih sempurna karena keberadaan orang shalih yang ada di liang kubur
itu, dibandingkan masjid lainnya. Alasan ini mirip dengan alasan
generasi pertama kaum Nuh dimana mereka membuat patung-patung hanya
untuk mencari barakah dan agar mereka semakin giat dalam beribadah.
Begitulah cara syaithan menjerumuskan manusia ke lembah kesyirikan.
Mereka memulai dari hal-hal yang dipandang remeh di mata sebagian
manusia. Bagaikan kerbau yang digembala – sedikit-demi sedikit syaithan
membawa manusia ke masuk ke pintu syubhat dan bid’ah hingga akhirnya
benar-benar masuk kepada kesyirikan yang nyata.
Sangatlah tepat apa yang dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berikut :
“Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melarang mendirikan masjid di
atas kuburan. Inilah yang pada umumnya menjerumuskan umat-umat terdahulu
ke dalam syirik akbar atau yang lebih rendah daripada itu (yaitu syirik
ashghar).
Kesyirikan akibat mengagungkan kuburan orang yang diyakini
keshalihannya lebih dekat kepada hati manusia dibandingkan syirik akibat
menyembah pohon atau batu.
Oleh sebab itu, kita sering menjumpai ahli syirik duduk dengan tenang
dan khusyu’ di sisi kuburan melakukan ibadah yang tidak pernah mereka
lakukan di rumah-rumah Allah dan di waktu sahur. Bahkan di antara mereka
ada yang sujud menghadap kuburan dan (kebanyakan mereka) berharap
memperoleh barakah shalat dan berdoa di sisi kubur, yang tidak pernah
mereka harapkan sewaktu mereka berada di masjid.
Karena mafsadah (kerusakan) inilah, Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam
memutuskan sumbernya. Bahkan dengan tegas beliau melarang shalat di
kuburan sama sekali, meskipun ia tidak bermaksud mencari barakah dengan
shalat di tempat itu. Jika seseorang shalat di sisi kuburan dengan
tujuan untuk mendapatkan barakah dengan shalat di tempat itu, ini
sesungguhnya penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya, meyelisihi
agama-Nya, dan melaksanakan kebid’ahan yang tidak diijinkan Allah.
Dan kaum muslimin telah sepakat berdasarkan apa yang mereka ketahui dengan pasti dari agama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam ini bahwa shalat di sisi kubur siapapun adalah terlarang”
[Iqtidhaa’ Shiraathil-Mustaqiim 2/680-681; Maktabah Ar-Rasyid].
Al-Imam An-Nawawi ASY-SYAFI’IY
rahimahullah berkata :
“Para ulama telah berkata bahwa larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam untuk menjadikan kubur beliau dan kubur yang lainnya sebagai
masjid/tempat ibadah hanyalah dikarenakan kekhawatiran beliau dari
berlebih-lebihannya (kaum muslimin) dalam mengagungkannya dan terfitnah
dengannya”
[Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi Bab An-Nahyi ‘an Banaail-Masaajid
‘alal-Qubuur wa Ittikhaadzish-Shuwari fiiha wan-Nahyi ‘an
Ittikhaadzil-Qubuuri Masajid].
Wallaahu a’lam, Semoga bermanfa’at.
***
Sumber :
“Dialog bersama pecinta kubur”, oleh al-Akh
Abul Jauzaa’ dan al-Akh
Abu Zuhri dengan sedikit tambahan tanpa mengubah makna dan maksud.
Catatan Kaki
- Apalagi lebih kalau dari satu kubur !!
- Silakan lihat selengkapnya dalam QS. Al-Israa’ : 23-38
- Salah satunya bisa ditengok dalam kitab Al-Ihkaam karya Ibnu Hazm
- Akan tetapi di sini Al-Muhallab mengatakan bahwa terdapat keluasan
dimana seseorang dapat berpaling ke arah kanan atau kiri dari tempatnya
(agar tidak menghadap ke kubur), karena menghadap ke shalat kubur dapat
membuat shalat tidak sah. Dan yang benar, adalah tetap tidak
diperbolehkan shalat walaupun ia berada di sisi kubur karena telah tetap
larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tidak shalat di
antara kubur (walau tidak menghadap ke kubur) sebagaimana telah disebutkan di atas.