![]() |
http://ghuroba.blogsome.com/2007/04/17/belajar-mengucapkan-saya-tidak-tahu/ |
Disamping golongan pengingkar sunnah yang menolak hadits-hadits shahih dengan akal dan hawa nafsunya, adapula golongan yang "sok tahu". Mereka berbicara tanpa ilmu.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Dajjal akan keluar dari
segitiga bermuda, Dajjal adalah Amerika karena memandang dengan sebelah
mata, Ya’juj dan Ma’juj adalah pasukan mongol, dan lain-lain.
Maka
pada edisi kali ini akan kami bawakan dalil dan ucapan para shahabat
dan ulama’ yang membimbing kta untuk belajar mengatakan "tidak tahu" terhadap hal-hal yang memang tidak diketahui, apalagi pada perkara-perkara yang ghaib yang tidak ada perincian dan penjelasannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah berfirman (yang artinya), "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung-jawabannya" (Al-Isra:36)
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu Wata’ala mengajarkan pada kita agar tidak berbicara tentang sesuatu kecuali dengan ilmu.
Apalagi jika masalah itu berkaitan dengan Dzat Allah, perbuatan Allah,
nama-nama dan sifat-sifatNya, ataupun perkara-perkara yang belum terjadi
dan yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan,
hisab, surga dan neraka, ataupun yang selainnya.
Dalam masalah-masalah tersebut, kita tidak
mungkin bisa mengetahuinya dengan panca indera atau akal kita. Kita
hanya mengetahui sebatas apa yang diberitakan dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang shahih sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat
Radhiyallahu ‘Anhum.
Muadz Bin Jabbal Radhiyallahu ‘Anhu ketika ditanya oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alahi Wasallam tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka beliau menjawab Allahu wa Rasuluhu a’lam.
Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz Bin Jabal
Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
berkata pada Muadz: "Ya Muadz tahukan engkau apa hak Allah di atas hambaNya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu". Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), "Hak Allah di atas hambaNya adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun". Kemudian Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata lagi, "Tahukah engkau apa hak mereka jika telah menunaikannya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu"(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan adab seorang shahabat ketika ditanya dengan sesuatu yang tidak dia ketahui, mereka mengatakan "Allah dan RasulNya lebih tahu" *.
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pun diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk menjawab "Allahu a’lam" ketika ditanya tentang ruh, karena itu urusan Allah. Allah berfirman (yang artinya), "Dan
mereka bertanya kepadamu tentang urusan ruh. Katakanlah: Ruh itu
termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan
sedikit." (Al-Isra:85).
Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak malu untuk mengatakan "tidak tahu" pada perkara-perkara yang memang Allah tidak turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau menunda jawabannya hingga turun jawaban dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Hikmah
dari jawaban-jawaban beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah:
kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui betul bahwa Rasulullah Sholallahu
‘Alaihi Wasallam tidak mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan dari
wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Jika ada keterangan wahyu dari
Allah beliau jawab, dan jika tidak maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menundanya.
Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah pernah ditanya dalam suatu masalah. Beliau menjawab, "Saya tidak tahu". Maka si penanya heran dan berkata, "Apakah kamu tidak malu mengatakan "tidak tahu", padahal engkau adalah ahlul fiqh negeri Iraq?" Beliau menjawab, "Tidak, karena para malaikat sekalipun tidak malu mengatakan tidak tahu, ketika Allah tanya: "Sebutkan kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang benar!"(Al-Baqoroh:31). Maka para malaikat menjawab: "Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu
bagi kami selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Al-Baqoroh:32) (Lihat ucapan Imam Asy-Sya’bi dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhili (2/51) melalui Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim karya Salim bin Ied Al-Hilali).
Dakwah
ini adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam jelaskan. Bukan buatan sendiri, berpikir
sendiri, atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada ilmu padanya. Allah berfirman (yang artinya),"Katakanlah
(hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas
dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan
(memaksakan diri). Al-Qur’an ini tidak lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan
mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi." (Shaad:86-88)
Karena
ayat inilah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu marah ketika ada seseorang
yang berbicara tanda-tanda hari kiamat dengan tanpa ilmu. Beliau Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah "Allahul A’lam!" Karena sesungguhnya Allah telah mengatakan pada nabiNya: Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak
meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku
termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri)." (Atsar
riwayat Ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil Ilmi
juz 2/51; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 797; Al Khatib Al Baghdadi dalam
Al Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi Al-Mu’allim, hal
59)
Demikian pula Abu Bakar Shidiq Radhiyallahu
‘Anhu ketika ditanya tentang tafsir suatu ayat yang tidak beliau
ketahui, beliau menjawab, " Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana
yang akan menaungiku, mau lari kemana aku atau apa yang akan aku perbuat
kalau aku mengatakan tentang ayat Allah tidak
sesuai dengan apa yang Allah kehendaki" (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr
dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, juz 2/52; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 792;
lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim, hal 60).
Diriwayatkan
ucapan yang semakna dari Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, dan
juga dinukilkan dari para shahabat oleh para ulama setelahnya seperti
Maimun Bin Mihran, Amir Asy-Sya’bi, Ibnu Abi Malikah, dan lain-lain. (lihat sumber yang sama halaman 60).
Pernah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang satu masalah, kemudian beliau menjawab, "Aku tidak mempunyai ilmu
tentangnya" (padahal saat itu beliau sebagai khalifah -red). Beliau
berkata setelah itu, "Duhai dinginnya hatiku" (3X). Maka para penanya
berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mukminin apa maksudmu?". Ali Bin Abi
Thalib menjawab, "Yakni dinginnya hati seseorang ketika ditanya tentang
sesuatu yang tidak ia ketahui". Kemudian ia
menjawab, "Wallahu A’lam".(Riwayat Ad-Darimi 1/62-63; Al Khatib dalam
Al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal 71; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 794
dari jalan yang banyak. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’alim hal 60).
Kejadian
yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu ketika beliau
ditanya, "Apakah bibi mendapat warisan?". Beliau menjawab saya tidak
tahu. Kemudian si penanya berkata, "Engkau tidak tahu dan kamipun tidak tahu,
lantas…?". Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, "Pergilah kepada
para Ulama di Madinah, dan tanyalah kepada mereka". Maka ketika dia (si
penanya -red) berpaling, dia berkata, "Sungguh mengagumkan Abu
Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu) ditanya sesuatu yang
beliau tidak tahu, beliau katakan: Saya tidak tahu".
(Riwayat Ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Abdi Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi;
Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih juz 2 hal 171-172; Al-Baihaqi
dalam Al-Madkhal, 769. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim ha 61).
Datang seseorang kepada Imam Malik Bin Anas Rahimahullah, bertanya tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan "saya tidak tahu".
Sampai kemudian orang itu datang dan berkata, "Wahai Abu ‘Abdillah, aku
akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu (yakni
meminta jawaban)". Maka Imam Malik
menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangkat kepalanya dan
berkata, "Masya Allah Hadza, aku berbicara adalah untuk mengharapkan
pahala. Namun, aku betul-betul tidak
mengetahui apa yang kamu tanyakan." (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilya,
6/323; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/53; Baihaqi dalam
Al-Madkhal no 816; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih 2/174; lihat
Hilyatul ‘Alimi al Mu’allim, ha 63).
Dari beberapa
ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan apa yang kita
ketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dilarang untuk berbicara pada
sesuatu yang tidak kita ketahui. Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang Ulama’ sebagai berikut:
"Belajarlah engkau untuk mengucapkan ‘Saya tidak tahu’. Dan janganlah belajar mengatakan ’saya tahu’ (pada apa yang kamu tidak tahu -red), karena sesungguhnya jika engkau mengucapkan ’saya tidak tahu’ mereka akan mengajarimu sampai engkau tahu". Tetapi jika engkau mengatakan ‘tahu’, mereka akan menghujanimu dengan pertanyaan hingga kamu tidak tahu".(Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/55 melalui nukilan Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, Salim Bin Ied Al-Hilaly, hal 66)
Perhatikan pula ucapan Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah, "Kalimat ’saya tidak tahu’ adalah setengah ilmu".
(Riwayat Ad-Darimi 1/63; Al-Khatib dalam Al-Faqih Wal Mutafaqih juz
2/173; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 810. Lihat Hilyatul ‘Ilmi Al-Mu’allim
ham 65)
Maka kalau seseorang ’sok tahu’ tentang sesuatu yang tidak ada ilmu padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya dan bodoh tentang dirinya. Wallahu a’lam.
*) Jawaban
di atas di ucapkan jika pertanyaanya berkaitan dengan masalah syari’at.
Namun jika masalahnya berkaitan dengan masalah taqdir dan sejenisnya,
jawabanny cukup dengan "Wallahul A’lam". Karena Rasulullah Sholallahu
‘Alaihi Wasallam sendiripun tidak mengetahuinya. (Demikianlah yang kami dapatkan dari Syaikh Utsaimin dari majelisnya)
0 komentar:
Posting Komentar