![]() |
Siapa ingin selamat dari kehinaan dan pertanyaan (hisab) pada Hari Kiamat, ia harus meng-hisab dirinya di dunia sebelum di-hisab di Akhirat. Itulah yang diwanti – wanti Allah Ta’ala pada kita saat berfirman,
يا
أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS Al- Hasyr :18)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS Al- Hasyr :18)
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memahami makna ayat di atas dengan mendalam. Ia berkata kepada rakyatnya,” Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap – siaplah menghadapi hari kiamat.” (Tarikhu Umar, Ibnu Al- Jauzi, hal 201)
Generasi shahabat punya tradisi meng-hisab diri mereka, karena takut
ditanya Allah ta’ala pada hari kiamat. Amir bin Abdullah berkata,” Aku pernah
melihat dan bersahabat dengan sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Mereka bercerita kepadaku bahwa bahwa orang paling beriman pada hari
Kiamat ialah orang yang paling sering meng-hisab dirinya.” ( Az – Zuhdu, Imam
Ahmad, hal 226)
Pasca Shahabat, datanglah periode tabi’in yang mengerjakan apa yang
tadinya dikerjakan generasi pertama Islam. Dikisahkan, Al-Hasan Al - Bashri
rahimahullah menangis pada suatu malam, hingga membuat tetangga – tetangganya ikut
menangis. Esok paginya, salah seorang tetangga datang kepada Al- Hasab Al-
Bashri rahimahullah dan berkata kepadanya,” Tadi malam, engkau membuat keluarga
kami menangis.” Al –Hasan Al- Bashri rahimahullah berkata kepada tetangganya
itu,” Tadi malam aku berkata kepada diriku,’ Hai Hasan, barangkali Allah
melihat sebagian aibmu, lalu Allah berfirman, kerjakan apa saja, tapi Aku tidak
menerimanya sama sekali.” ( Az – Zuhdu, Imam Ahmad, hal 280)
Mereka hidup dengan muhasabah dan bahagia dengan kedalaman iman seperti
itu. Mereka tahu apa yang dikehendaki Allah Ta’ala pada mereka dan mereka
Al-Qur’an yang bergerak. Satu orang dari mereka sama seperti seribu atau lebih
orang dari kita. Jika kita ingin kejayaan dikembalikan kepada kita, maka tidak
ada pilihan selain menapaktilasi jejak – jejak mereka. Adakah di antara kita
yang mau mengerjakannya?
Wallahul Muwaffiq
0 komentar:
Posting Komentar