Penulis: Asy-Syaikh Dr Shâlih bin Fauzân bin Abdullâh Al-Fauzân
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Rabb Tuhan semesta alam yang
telah menunjuki kita sekalian kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita
tidak akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk.
Kita memohon kepada-Nya agar kita senantiasa ditetapkan di atas hidayah-Nya sampai akhir hayat, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam
keadaan Islam.” (Ali-Imran: 102)
Begitu pula kita memohon agar hati kita tidak dicondongkan kepada kesesatan setelah kita mendapat petunjuk. Artinya: “Ya Allah, janganlah engkau palingkan hati-hati kami setelah engkau memberi kami hidayah.” (Ali Imran: 8)
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah
limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus-Nya
sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan semoga ridla-Nya selalu
dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari
kalangan Muhajirin maupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang
setia selama ada waktu malam dan siang.
Wa ba’du: Inilah beberapa kalimat ringkas
tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang pada kenyataan
hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka terpecah
belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da’wah)
kontemporer dan jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru
manusia (umat Islam) kepada golongannya; mengklaim bahwa diri dan
golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang
muslim yang masih awam menjadi bingung kepada siapakah dia belajar Islam
dan kepada jama’ah mana dia harus ikut bergabung.
Bahkan seorang kafir yang ingin masuk Islam-pun
bingung. Islam apakah yang benar yang harus didengar dan dibacanya;
yakni ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah
yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu;
namun justru dia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar
tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang
orientalis tentang Islam: “Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri,”
yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten
(menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang
seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini
dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah berfirman. Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Maka, pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum
muslimin yang tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan memelihara
serta membelanya sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya (dari Islam), maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang
mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka
mencela ….” (Al-Maaidah: 54)
Dan firman Allah. Artinya: “Ingatlah kamu ini.
orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Maka
di antara kamu ada yang bakhil barang siapa bakhil berarti dia bakhil
pada dirinya sendiri, Allah Maha Kaya dan kamu orang-orang yang
membutuhkan-Nya, dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti
(kamu) dengan kaum selain kalian dan mereka tidak akan seperti kamu
ini.” (Muhammad: 38)
Golongan atau jama’ah yang dimaksud adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
Artinya: “Akan senantiasa ada segolongan dari
umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang
menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka
hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang mereka tetap
dalam keadaan yang demikian.” (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy)
Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin
mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal
golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili Islam yang benar, Semoga
Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa
mengambil contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya orang
kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa
bergabung.
Al Firqatun Najiyah (Golongan yang diselamatkan) adalah Ahlusunnah wal Jama’ah
Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya: “Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku.” (Al-Anbiyaa: 92)
Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq,
artinya: “Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi
Rasulullah, supaya mereka bubar.”
Kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama): “Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.
Firman ALLAH yang artinya: “Segolongan (lain)
dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya): (pura-pura) berimanlah
kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para
sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya,
mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali
kepada kekafiran.” (Ali Imran: 72)
Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka
berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan
Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan di antara
mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya’ir di antara mereka. Allah
membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.
Firman ALLAH yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi
Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir
sesudah kalian beriman.” (Ali Imran: 100)
Sampai pada Firman ALLAH yang artinya: “Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram …..” (Ali-Imran: 106)
Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi kaum Anshar: menasehati dan mengingatkan mereka ni’mat Islam
dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka
saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi
perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy
hal. 149-150). Dengan demikian gagallah pula makar Yahudi dan tetaplah
kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka
untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan perpecahan
sebagaimana firman-Nya.
Firman ALLAH yang artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas …….” (Ali-Imran: 105)
Dan firman-Nya pula, Firman ALLAH yang artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah …..” (Ali-Imran: 103)
Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan
kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah: seperti shalat,
dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun telah memerintahkan
kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan
perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita yang
berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita
tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal
tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya: “Sesunguhnya
barangsiapa yang masih hidup di antara kalian dia akan melihat
perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan
sunnah-Ku dan sunnah Khulafaur-Rasyiddin yang mendapat petunjuk setelah
Aku.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43)
Dan sabdanya pula, yang artinya: “Telah berpecah
kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum
Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali
satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah?
Beliau menjawab: yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku
dan para sahabatku jalani hari ini.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun
perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa
generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya, yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya.” (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy)
Perawi hadits ini berkata: “saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali.”
Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih
banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka
termasuk sebagai ulama tabi’in dan pengikut para tabi’in serta para
imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya
daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah
menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang
melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini
bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang
bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para
raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk
dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah
perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan
dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam
rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman
kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah.
Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam
yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya; bahkan akan tetap
berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits
Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini
dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada
di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau, yang artinya: “Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini.”
Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman, yang artinya: “Maka
mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang
mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di
muka bumi kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah kami
selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya
mementingkan kemewahan yang ada pada mereka; dan mereka adalah
orang-orang yang berdosa.” (Huud: 116)
Nama-nama Al Firqatun Najiyah dan maknanya
Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah
golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita
untuk mengetahui pula nama-nama beserta ciri-cirinya agar kita dapat
mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama agung yang
membedakannya dari kelompok-kelompok lain.
Dan diantara nama-namanya adalah: Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat); Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong); dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah sebagai berikut:
1. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya: “Seluruhnya di atas neraka kecuali satu; yakni yang tidak masuk kedalam neraka.” (Telah terdahulu keterangannya)
2. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang
oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini.” (Telah terdahulu keterangannya)
3. Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah mereka yang
menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari
kelompok lainnya pada dua hal penting; pertama. berpegangteguhnya
mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka disebut sebagai pemeluk sunnah
(Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka
berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan
para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak
dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah
dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti
Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah; atau dinisbatkan kepada para imam-nya
seperti Al-Jahmiyah; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang
kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij.
Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka
itu Ahlul Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan
Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan
kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh
dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka,
maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
4. Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang
ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong
dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah: “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka.” (Muhammad: 7). Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah
yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan
(membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala
sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian.” (Telah terdahulu keterangannya)
Prinsip-prinsip Ahlusunnah Wal Jamaah
Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama’ah berjalan di
atas prinsip-prinsip yang jelas dan kokoh baik dalam itiqad, amal maupun
perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada
kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para
pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi’in dan para pengikut mereka
yang setia.
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut.
Prinsip Pertama
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.
1. Iman kepada Allah Beriman kepada Allah artinya
berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beriti’qad dan
beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid
al-asmaa wa-ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan
segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki,
menghidupkan dan mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan
Penguasa segala sesuatu. Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan
Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari’atkan
oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah (minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), al-isti’adzah (meminta
perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala
apa saja yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali
maupun yang lainnya. Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah
menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan atas
diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah
dan mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal
tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini
tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian), dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Asy-Syuro: 11)
Dan firman Allah pula yang artinya: “Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya.” (Al-A’raf: 180)
2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan
adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk dari
sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan
malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan
perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah yang
artinya: “….Bahkan malaikat-malaikat itu adalah makhluk yang
dumuliakan, mereka tidak mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Al-Anbiyaa: 26-27)
Allah berfirman yang artinya: “Allahlah yang
menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga
dan empat; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki.” (Faathir: 1)
3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya yakni membenarkan
adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa
hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan
kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan
bahwasanya yang paling agung di antara sekian banyak kitab-kitab itu
adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di antara ketiga
kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur’an yang merupakan
mu’jizat yang agung.
Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah (Hai
Muhammad): ‘sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat
yang serupa Al-Qur’an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya
walaupun sesama mereka saling bahu membahu.” (Al-Isra: 88)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani bahwa
Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik
huruf maupun artinya. Berebda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan
Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk baik huruf
maupun maknanya. Berbeda pula dengan pendapat Asyaa’irah dan yang
menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah
artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah yang artinya: “Dan
jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur’an).” (At-Taubah: 6) Artinya: “Mereka itu ingin merubah KALAM Allah.” (Al-Fath: 15)
4. Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua
rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak; dari
yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut
adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada
Nabi kita secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau adalah
penutup para nabi dan rasul dan tidak ada nabi sesudahnya; maka
barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian berarti
dia telah kafir.
Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak
melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus
berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap
para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para
rasul itu seperti memperlakukan terhadap Tuhannya (Allah) sebagaimana
yang difirmankan Allah, yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu anak Allah; dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Isa Al-Masih itu anak Allah….” (At-Taubah: 30)
Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah
bertindak sebaliknya. Mereka telah merendahkan dan menghinakan hak para
rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah
berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut.
Orang-orang Yahudi telah kafir terhadap Nabi Isa dan
Muhammad ‘alaihima shalatu wa sallam; sedangkan orang-orang Nashara
telah kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
orang-orang yang mengimani sebagian- mengingkari sebagian (dari para
rasul Allah), maka dia telah mengingkari dengan seluruh rasul, Allah
telah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir
kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara
(keimanan kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan mengatakan: Kami beriman
kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain), serta
bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan di antara yang demikian
(iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya,
kami telah menyediakan untuk mereka siksa yang menghinakan.” (An-Nisaa: 150-151)
Dan Allah juga berfirman yang artinya: “Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ….” (Al-Baqarah: 285)
5. Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan apa-apa
yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan
Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari
kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar,
hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatan dan pemberian
buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan
(sirat), serta syurga dan neraka.
Di samping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat
(jahat) serta bertaubat dari padanya. Dan sungguh telah mengingkari
adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang
orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan
yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari
akhir. Firman Allah yang artinya: “Dan mereka (Yahudi dan Nashara)
berkata: ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka …….” (Al-Baqarah: 111)
Firman ALLAH yang artinya: “Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja.” (Al-Baqarah: 80)
6. Iman kepada taqdir. Yakni beriman bahwasanya Allah
itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi;
menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz; dan bahwasanya segala
sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat,
itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya; dan bahwasanya
Allah itu mencintai keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak
dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka
pada keta’atan atau ma’shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan
dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang
mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak
memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan
bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan
bahwasanya dialah yang menciptakan pekerjaan dirinya, kemauan dan
kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya, yang artinya: “Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya.” (At-Takwir: 29)
Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi
setiap hamba sebagai banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan
menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan
atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan
sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cobaan dan menjauhkannya
dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji. Bahkan dapat
mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari
sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip Kedua Ahlusunnah Wal Jamaah
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah: bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang
bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka
iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang
demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu
hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal
sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang
menolak kebenaran.
Allah berfirman, yang artinya: “Dan mereka
mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal
hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan
orang-orang yang berbuat kerusakan itu.” (An-Naml: 14)
ALLAH berfirman, yang artinya: “……. karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah.” (Al-An’aam: 33)
Firman ALLAH, yang artinya: “Dan kaum ‘Aad dan
Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat
tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan
mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka
adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (Al-Ankabut: 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati
atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian
adalah keimanan golongan Murji’ah; Allah seringkali menyebut amal
perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya, yang
artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang
apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka
bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang
menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah
orang-orang mu’min yang sebenarnya ….” (Al-Anfaal: 2-4)
Firman ALLAH yang artinya: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (Al-Baqarah: 143)
Prinsip Ketiga
Dan di antara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari
kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan
keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada
dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan
shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi
kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.
Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia
berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan
mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya ….” (An-Nisaa: 48)
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah
ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan
orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan
Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu’min sempurna
imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma’shiyat
dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta’at
dengan adanya kekafiran.
Prinsip Keempat
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak
memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, apabila mereka memerintahkan
perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya
namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman
Allah Ta’ala yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ….” (An-Nisaa: 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Dan
aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan
mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba.” (Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya)
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya, yang artinya: “Barangsiapa
yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan
barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku.” (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi)
Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang
bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta
medo’akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip Kelima
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum
muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal
tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya ta’at
kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum
tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu’tazilah
yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang
melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka
memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar.
Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah
seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya
bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan
dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip Keenam
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.
Firman ALLAH yang artinya: “Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka mengatakan: Ya Allah, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah
Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang
beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,yang artinya: “Janganlah
kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku
ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian
menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai
segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga
setengahnya.” (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy)
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik
dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan
keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in.
Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara
mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan
dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip Ketujuh
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku.” ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
Firman ALLAH yang artinya: “Wahai wanita-wanita nabi ………” (Al-Ahzab: 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka
dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman yang
artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Al-Ahzab: 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara
dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini
khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara
dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki
hak. Allah berfirman yang artinya: “Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia.” (Al-Lahab: 1)
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat
kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat
dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Hai
kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi
kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun; ya Abbas paman Rasulullah, aku
tidak dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah
bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan
Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak
dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah.” (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut
mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan,
namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan
mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan
bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat
selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman yang
artinya: “Katakanlah (hai Muhammad): Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian.” (Al-Jin: 21).
Firman ALLAH yang artinya: “Katakanlah (hai
Muhammad): Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali
apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah, kalaulah aku mengetahui yang
ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa
kemadlaratan.” (Al-A’raf: 188)
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula
yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat
Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.
Prinsip Kedelapan
Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah
perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang
luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut
telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya
karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada
hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.
Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian
manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah,
bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya
bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli
sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian
luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang
diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir
adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari
orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan
mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang
sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.
Prinsip Kesembilan
Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang
dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan
oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan
khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah
dalam sabdanya, yang artinya: “Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk.” (Telah terdahulu takhrijnya)
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan
perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh
karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil
dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah
disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama; yakni
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu
dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman, yang
artinya: “Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman
pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu
dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa: 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat
tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini
bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak
boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi
persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam masalah
ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan
hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta’ashub
dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak
(wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama
lain; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain
betapapun adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara
mereka. Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi
sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.
Penutup
Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang
dikemukakan di muka, mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap
aqidah yang diyakininya.
Di antara sifat-sifat yang agung itu adalah:
Pertama, Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari’at dalam firman Allah berikut.
Firman ALLAH yang artinya: “Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah.” (Ali-Imran: 110).
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya: “Barangsiapa
diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia
merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan
lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian
itulah selemah-lemah iman.” (Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Sekali lagi, amar ma’ruf nahi munkar hanya terhadap
apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at. Sedangkan golongan Muta’zilah
mengeluarkan amar ma’ruf dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan
oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma’ruf nahi munkar
adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan
ma’shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur.
Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib
menasehati mereka dalam hal kema’shiyatannya tanpa harus memberontak
kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan
menghindari perpecahan dan perselisihan. Telah berkata Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah: Barangkali hampir tidak dikenal suatu
kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih
banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemungkaran
(melalui cara pemberontakan tersebut).
Kedua, Ahlus Sunnah wal Jama’ah
menjaga tetap tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat Jum’at
dan shalat berjama’ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid’ah
dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun
shalat Jama’ah.
Ketiga, Menegakkan nasehat bagi
setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan
taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
artinya: “Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa? Beliau
menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta
kaum muslimin pada umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37
syarah Nawawy, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102
dari Tamiim Ad-Dary).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang artinya: “Mu’min yang satu bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan.” (Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).
Keempat, Mereka tegar dalam
menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan
bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan menerimanya dengan ketentuan
Allah.
Kelima, Bahwasanya mereka selalu
berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang tua,
menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka
senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim (aniaya) sesuai
dengan firman Allah, yang artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (An-Nisaa: 36)
Firman ALLAH yang artinya: “Sesempurna-sempurna iman seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar
berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan
hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya)
dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.
(Disalin dari Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah,
tulisan Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, diterbitkan
oleh Dar Al-Gasem Saudi Arabia PO Box 6373 Riyadh 11442.)
0 komentar:
Posting Komentar