1. DZIKRULLAH.
Tidak diragukan bahwa dzikrullah (mengingat Allah) merupakan salah satu
ibadah yang agung. Dengan dzikrullah seorang hamba mendekatkan diri
kepada Rabb-nya, mengisi waktunya dan memanfaatkan nafas-nafasnya.
Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki keutamaan-keutamaan
yang agung dan keberkahan-keberkahan yang melimpah, baik di dunia maupun
di akhirat, antara lain:
Keberkahan Duniawi, yaitu;
1. Ketenangan hati dan hilangnya rasa takut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“...Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’d: 28]
2. Dzikir menguatkan ingatan, sehingga ia mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan tanpa dengan berdzikir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari anaknya
Fathimah Radhiyallahu anhuma dan (menantunya) ‘Ali Radhiyallahu anhu
agar bertasbih setiap malam ketika akan tidur sebanyak 33 kali, dan
bertahmid sebanyak 33 kali dan bertakbir sebanyak 34 kali. Ketika ia
(Fathimah Radhiyallahu anhuma) meminta pembantu kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengadu kepadanya tentang apa yang ia
hadapi dalam berumah tangga, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajari hal tersebut di atas, kemudian bersabda:
"فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ."
“Itu lebih baik dari kalian berdua dari seorang pembantu.” [1]
Dikatakan bahwa, “Barangsiapa yang terus menerus secara kontinu
melakukan hal tersebut, maka akan mendapatkan kekuatan pada raganya
sehingga ia tidak lagi memerlukan pembantu. [2]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwasanya kalimat “لاَحَوْلَ
وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ”, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam
membantu kegiatan-kegiatan yang sulit dan meringankan kususahan dan
kesulitan, selanjutnya beliau memberikan dalil-dalil dan ar-gumentasinya
dalam hal tersebut.[3]
Keutamaan dan faidah dzikir sangatlah banyak, hingga Imam Ibnul Qayyim
menyatakan dalam kitabnya Al Wabil Ash Shayyib [5], bahwa dzikir
memiliki lebih dari seratus faidah, dan menyebutkan tujuh puluh tiga
faidah di dalam kitab tersebut. Diantara keutamaan dan faidah dzikir
ialah:
Dzikir dapat mengusir syetan dan melindungi orang yang
berdzikir darinya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ
رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى
حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا
يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنْ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ
Dan Aku (Yahya bin Zakaria) memerintahkan kalian untuk banyak berdzikir
kepada Allah. Permisalannya itu, seperti seseorang yang dikejar-kejar
musuh, lalu ia mendatangi benteng yang kokoh dan berlindung di dalamnya.
Demikianlah seorang hamba, tidak dapat melindungi dirinya dari syetan,
kecuali dengan dzikir kepada Allah.[5]
Ibnul Qayim memberikan komentarnya terhadap hadits ini: “Seandainya
dzikir hanya memiliki satu keutamaan ini saja, maka sudah cukup bagi
seorang hamba untuk tidak lepas lisannya dari dzikir kepada Allah, dan
senantiasa gerak berdzikir; karena ia tidak dapat melindungi dirinya
dari musuhnya, kecuali dengan dzikir kepada Allah. Para musuh hanya akan
masuk melalui pintu kelalaian dalam keadaan terus mengintainya. Jika ia
lengah, maka musuh langsung menerkam dan memangsanya. Dan jika
berdzikir kepada Allah, maka musuh Allah itu meringkuk dan merasa kecil
serta melemah sehingga seperti al wash’ (sejenis burung kecil) dan
seperti lalat”.[6]
Manusia, ketika lalai dari dzikir, maka syetan langsung menempel dan
menggodanya serta menjadikannya sebagai teman yang selalu menyertainya,
sebagaimana firman Allah.
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Rabb) Yang Maha Pemurah (Al
Qur'an), Kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. [Az Zukhruf/43 :36].
Dzikir dapat menghidupkan hati. Bahkan, dzikir itu sendiri pada
hakikatnya adalah kehidupan bagi hati tersebut. Apabila hati kehilangan
dzikir, maka seakan-akan kehilangan kehidupannya; sehingga tidaklah
hidup sebuah hati tanpa dzikir kepada Allah.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dzikir bagi hati,
seperti air bagi ikan. Lalu bagaimana keadaan ikan jika kehilangan
air?”[7]
Keempat : Dzikir menghapus dosa dan menyelamatkannya dari adzab Allah;
karena dzikir merupakan satu kebaikan yang besar, dan kebaikan adalah
untuk menghapus dosa dan menghilangkannya. Tentunya, hal ini dapat
menyelamatkan orang yang berdzikir dari adzab Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا قَطُّ أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang lebih menyelamatkan dirinya dari adzab Allah dari dzikrullah.[8]
Kelima : Dzikir menghasilkan pahala, keutamaan dan karunia Allah yang
tidak dihasilkan oleh selainnya, padahal sangat mudah mengamalkannya;
karena gerakan lisan lebih mudah daripada gerakan anggota tubuh lainnya.
Diantara pahala dzikir yang disebutkan Rasulullah adalah:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ
الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ
مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ
مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ
حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ
أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ
ذَلِكَ
Barangsiapa mengucapkan (dzikir):
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dalam sehari seratus kali, maka itu sama dengan pahala sepuluh budak;
ditulis seratus kebaikan untuknya, dan dihapus seratus dosanya. Juga
menjadi pelindungnya dari syetan pada hari itu sampai sore, dan tidak
ada satupun yang lebih utama dari amalannya, kecuali seorang yang
beramal dengan amalan yang lebih banyak dari hal itu. [9]
Ibnul Qayim berkata,”Dzikir adalah ibadah yang paling mudah, namun
paling agung dan utama; karena gerakan lisan adalah gerakan anggota
tubuh yang paling ringan dan mudah. Seandainya satu anggota tubuh
manusia sehari semalam bergerak seukuran gerakan lisannya, tentulah hal
itu sangat menyusahkannya, bahkan tidak mampu.” [10]
Keenam : Dzikir adalah tanaman syurga [11]. Ini berlandaskan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdillah bin
Mas’ud yang berbunyi.
لَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ
أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّي السَّلَامَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ
طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ وَأَنَّهَا قِيعَانٌ وَأَنَّ
غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Aku berjumpa dengan Ibrahim pada malam isra’ dan mi’raj, lalu ia
berkata,”Wahai, Muhammad. Sampaikan salamku kepada umatmu dan
beritahulah mereka bahwa syurga memiliki tanah yang terbaik dan air yang
paling menyejukkan. Syurga itu dataran kosong (Qai’aan) dan tumbuhannya
adalah (dzikir) Subhanallahi wa la ilaha illallah wallahu Akbar.” [12]
2. DUDUK DALAM MAJLIS ILMU
Demikian juga majlis Ilmu, merupakan majlis yang sangat mulia di sisi
Allah Ta’ala dan memiliki berbagai keutamaan yang agung.
Majlis Ilmu adalah taman surga di dunia ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ
الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ
الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka
singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman
surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok)
dzikir.”[HR Tirmidzi, no. 3510 dan lainnya. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2562.]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Barangsiapa ingin menempati
taman-taman surga di dunia, hendaklah dia menempati majlis-majlis
dzikir; karena ia adalah taman-taman surga.”
Duduk Bersama-Sama Untuk Membaca Dan Mempelajari Al Qur’an.
Yaitu dengan cara salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkan. Sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا
نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda,”Dan tidaklah
sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah
Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka,
kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para
malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699; Abu Dawud, no. 3643;
Tirmidzi, no. 2646; Ibnu Majah, no. 225; dan lainnya].
3. MENAHAN AMARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang
dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang
menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti
memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan
mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh,
mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan
permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat
kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti
sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau
mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat
marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa
hilang dari perilaku kebiasaan manusia.” [Fat-hul Bâri, X/520].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : ((
لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )).
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau
menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya
berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].
Sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh
setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka. Karena
dengan kemarahan, seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga melakukan
tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan
agamanya.
Oleh karena itu, hamba-hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa,
meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka
selalu berusaha melawan keinginan nafsu. Sehingga mereka mampu meredam
kemarahan mereka karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla
memuji mereka dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka)
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh Azza wa Jalla
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan [Ali 'Imrân/3:134]
Maksudnya, jika mereka disakiti orang lain yang memancing kemarahan,
mereka tidak memperturutkan hawa nafsu mereka (demi melampiaskan
kemarahan), akan tetapi sebaliknya, mereka (justru berusaha) menahan
kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan
orang yang menyakiti mereka.
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan
lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang
sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.[HR al-Bukhâri, no. 5763 dan Muslim, no. 2609].
4. MEMBELA KEHORMATAN SAUDARA
Bertakwalah kita kepada Allah. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan
diri, tidak berlebihan dalam berbicara. Sungguh beruntung orang yang
bisa menguasai lisannya. Sungguh beruntung orang yang terhindar dari
menggunjing orang lain, karena ia mengetahui yang ada pada dirinya.
Sungguh beruntung orang yang berpegang dengan petunjuk al Qur`an,
kemudian menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, lisan yang jujur, dan
ikhlas mencintai saudaranya.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. [al
Hasyr/59 : 10].
Kami mengingatkan kembali, hendaklah kita jauhi perbuatan ghibah atau
menggunjing orang lain. Ketahuilah, orang yang mendengarkan ghibah, ia
mendapatkan dosa yang sama seperti pelakunya. Sehingga orang yang
mendengarkan ghibah tidak selamat dari dosa, kecuali jika ia mengingkari
dengan lisannya, atau dengan hatinya. Apabila bisa, hendaklah ia
tinggalkan majelis atau tempat tersebut, atau memutusnya dengan
mengalihkan kepada pembicaraan yang lain. Karena, orang yang diam ketika
mendengar ghibah, maka ia termasuk bergabung dengan pelakunya. Sehingga
Ibnu Mubarak mengingatkan: “Pergilah dari orang yang menggunjing,
sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”.
Setiap orang memiliki cacat dan aib, kesalahan dan kekeliruan. Oleh
karena itu, kita jangan merasa mengetahui apa yang tidak diketahui orang
lain. Daripada mengurusi aib orang lain, mengapa kita tidak menyibukkan
diri dengan aib sendiri? Jagalah hak dan kehormatan saudaramu! Dalam
sebuah hadits dinyatakan :
مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيهِ بِالْغِيبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang membela daging (kehormatan) saudaranya dari ghibah,
maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari api Neraka. [HR Ahmad dengan sanad hasan]
وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
Barangsiapa yang berkata tentang seorang mu`min yang tidak ada padanya,
(maka) Allah akan menempatkannya pada lumpur ahli Neraka, sampai dia
keluar dari apa yang dia ucapkan.[HR Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib, no. 2845].
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا
فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ
لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ
مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa berbuat kezhaliman terhadap saudaranya (orang lain),
hendaklah dia meminta maaf atas kezhalimannya. Karena (pada hari
Kiamat), di sana tidak ada dinar (dan) tidak pula dirham sebagai
penebusnya, sebelum diambil kebaikan dari dirinya untuk saudaranya
tersebut. Apabila dia tidak memiliki kebaikan, maka diambillah kejelekan
saudaranya tersebut dan dilimpahkan kepadanya.
(Diangkat dari Khuthbah Jum’at Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid, di Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah)
5. BERJALAN MENUJU MASJID UNTUK SHALAT BERJAMA'AH
Termasuk perkara yang menghiasi shalat adalah
perintah untuk melakukan shalat berjama’ah. Bahkan begitu pentingnya
shalat berjama’ah sampai-sampai mulai zaman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassalam sampai pada zaman para imam madzhab, mereka semua
sangat memperhatikannya. Bukahkah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassalam sampai pernah mengucapkan keinginannya untuk menyuruh seseorang
mengimami orang-orang, dan yang lainnya mencari kayu bakar yang
kemudian akan digunakan untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak
menghadiri shalat berjama’ah?.
Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam juga pernah bersabda:

“
Barangsiapa yang mendengar adzan, lalu ia tidak mendatanginya (ke masjid), maka tidak ada shalat baginya.” (HR. Ibnu Majah, hadits ini shahih)
Berkata Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu:
“Barangsiapa yang suka bertemu Allah
kelak sebagai seorang muslim, maka hendaknya ia menjaga
shalat-shalatnya, dengan shalat-shalat itu ia dipanggil. sesungguhnya
Allah Ta’ala menggariskan kepada Nabi kalian jalan-jalan petunjuk
(sunnah-sunnah). Seandainya kalian shalat dirumah, seperti orang yang
terlambat ini shalat dirumahnya, niscaya kalian telah meninggalkan
sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya
kalian tersesat. Dan tidaklah seorang laki-laki bersuci dengan sempurna
lalu sengaja ke masjid di antara masjid-masjid (yang ada) kecuali Allah
menuliskan baginya satu kebaikan untuk setiap langkah yang ia ayunkan
dan mengangkat pula dengannya satu derajat dan dengannya pula dihapus
satu dosa. Sebagaimana yang kalian ketahui, tak seorangpun
meninggalkannya (shalat berjama’ah) kecuali orang munafik yang nyata
kemunafikannya. Dan sungguh orang (yang berhalangan) pada masa itu,
dibawa datang (ke masjid) dengan dipapah oleh dua orang lalu
diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim)
Melaksanakan shalat
berjama’ah juga merupakan ibadah yang paling ditekankan, ketaatan
terbesar dan juga syi’ar Islam yang paling agung, tetapi banyak kalangan
yang menisbatkan diri kepada Islam meremehkan hal ini. Sikap meremehkan
ini bisa karena beberapa faktor, antara lain:
a.
Mereka tidak mengetahui apa yang disiapkan oleh Allah Ta’ala berupa
ganjaran yang besar dan pahala yang melimpah bagi orang yang shalat
berjama’ah atau mereka tidak menghayati dan tidak mengingatnya.
b. Mereka tidak mengetahui hukum shalat berjama’ah atau pura-pura tidak mengetahuinya.
Oleh karena itulah, dibawah ini akan saya sampaikan keutamaan-keutamaan shalat berjama’ah dimasjid.
KEUTAMAAN SHALAT BERJAMAH
A. Hati yang Bergantung di Masjid akan Berada di Bawah Naungan (‘Arsy) Allah Ta’ala Pada Hari Kiamat.
Di antara apa yang
menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah ialah bahwa siapa yang sangat
mencintai masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah di dalamnya, maka
Allah Ta’ala akan menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak
ada naungan kecuali naungan-Nya. Dari sahabat Abu Hurairah radhiallah
anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau bersabda:

“Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari
yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: imam yang adil, pemuda yang
tumbuh dalam beribadah kepada Rabb-nya, seseorang yang hatinya
bergantung di masjid-masjid, dua orang yang saling mencintai karena
Allah berkumpul dan berpisah karena-Nya, seseorang yang dinginkan
(berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, maka ia
mengatakan,’ Sesungguhnya aku takut kepada Allah’,seseorang yang
bersadaqah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang di nafkahkan oleh tangan kanannya, dan seseorang
yang mengingat Allah dalam keadaan sepi (sendiri) lalu kedua matanya
berlinang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan saat menjelaskan sabdanya, “Dan seseorang yang hatinya bergantung di masjid-masjid.”
“artinya, sangat
mencintainya dan senantiasa melaksanakan shalat berjamaah di dalamnya.
Maknanya bukan terus-menerus duduk di masjid.” (Syarh an Nawawi VII/121)
Al ‘Allamah al ‘Aini rahimahullah menjelaska apa yang dapat dipetik dari sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ini, “Didalamnya
berisi keutamaan orang yang senantiasa berada di masjid untuk
melaksanakan shalat berjama’ah, karena masjid adalah rumah Allah dan
rumah setiap orang yang bertakwa. Sudah sepatutnya siapa yang dikunjungi
memuliakan orang yang berkunjung; maka bagaimana halnya dengan Rabb
Yang Maha Pemurah?”.
B. Keutamaan Berjalan ke Masjid untuk Melaksanakan Shalat Berjama’ah
1. Dicatatnya langkah-langkah kaki menuju masjid.
(Rasul) yang berbicara dengan wahyu,
kekasih yang mulia Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskan bahwa
langkah kaki seorang muslim menuju masjid akan dicatat. Imam Muslim
meriwayatkan dai Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, ia mengatakan,”Bani
Salimah ingin pindah ke dekat masjid, sedangkan tempat tersebut kosong.
Ketika hal itu sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam,
maka beliau bersabda:
“Wahai Bani Salimah! Tetaplah di pemukiman kalian, karena langkah-langkah kalian akan dicatat.”
Mereka mengatakan:
“Tidak ada yang mengembirakan kami bila kami berpindah.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan dalam menjelaskan sabdanya: “Wahai Bani Salimah! Tetaplah di pemukiman kalian, karena langkah-langkah kalian akan di catat.”
“Artinya, tetaplah dipemukiman kalian!
Sebab, jika kalian tetap di pemukiamn kalian, maka jejak-jejak dan
langkah-langkah kalian yang banyak menuju ke masjid akan dicatat.”
(Syarh an NawawiV/169)
‘Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma mengatakan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya, “Pemukiman kaum Anshar sangat jauh dari masjid, lalu mereka ingin agar dekat dengannya, maka turunlah ayat ini,

“
Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”(QS. Yasin:12)
Akhirnya, mereka tetap tinggal di pemukiman mereka.” (HR.Ibnu Majah)
Pencatatan langkah-langkah
orang yang menuju masjid bukan hanya ketika ia pergi ke masjid, tetapi
juga dicatat ketika pulang darinya. Imam Muslim meriwayatkan dari Ubay
bin Ka’ab radhiallahu anhu tentang kisah seorang Anshar yang tidak
pernah tertinggal dari shalat berjama’ah, dan tidak pula ia menginginkan
rumahnya berdekatan dengan masjid, bahwa ia berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Aku tidak bergembira
jika rumahku (terletak) didekat masjid. Aku ingin agar langkahku ke
masjid dan kepulanganku ketika aku kembali kepada keluargaku dicatat.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Allah telah menghimpun semua itu untukmu.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Ibnu Hibban:
“Allah telah memberikan itu semua kepadamu. Allah telah memberikan kepadamu apa yang engkau cari, semuanya.” (HR.Ibnu Majah)
2. Para Malaikat yang mulia saling berebut untuk mencatatnya.
Diantara dalil yang
menunjukkan keutamaan berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat
berjama’ah bahwa Allah meninggikan kedudukan langkah-langkah orang yang
(berjalan) menuju ke masjid, bahkan para Malaikat yang didekatkan
(kepada Allah) berebut untuk mencatatnya dan membawanya naik ke langit.
Imam at Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, ia mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Tadi malan
Rabb-ku tabaarakta wata’aala, mendatangiku dalam rupa yang paling
indah.”(Perawi mengatakan,’Aku menduganya mengatakan,’Dalam mimpi.’).
Lalu Dia berfirman, “Wahai Muhammad! Tahukah engkau, untuk apa para
Malaikat yang mulia saling berebut?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassalam berkata:”Aku menjawab,’Tidak’. Lalu Dia meletakkan Tangan-Nya
di antara kedua pundakku sehingga aku merasakan kesejukannya di dadaku
(atau beliau mengatakan,’Di leherku’). Lalu aku mengetahui apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi.”Dia berfirman,”Wahai
Muhammad!Tahukah engkau untuk apa para Malaikat yang mulia saling
berebut?” Aku menjawab,”Ya, tentang kaffarat (perkara-perkara yang
menghapuskan dosa). Kaffarat itu adalah diam di masjid setelah
melaksanakan shalat, berjalan kaki untuk melaksanakan shalat berjama’ah,
dan menyempurnakan wudhu pada saat yang tidak disukai.” (HR. Tirmidzi, hadits ini shahih).
Seandainya berjalan kaki
untuk shalat berjama’ah tidak termasuk amal yang mulia, niscaya para
Malaikat muqarrabun tidak akan berebut untuk mencatat dan membawanya
naik ke langit.
3. Berjalan menuju
shalat berjama’ah termasuk salah satu sebab mendapatkan jaminan berupa
kehidupan yang baik dan kematian yang baik pula.
Tidak hanya para Malaikat
saling berebut untuk mencatat amalan berjalan kaki menuju shalat
berjama’ah, bahkan Allah menjadikan jaminan kehidupan yang baik dan
kematian yang baik pula. Disebutkan dalam hadist terdahulu:
“Barangsiapa
yang melakukan hal itu – yakni tiga amalan yang disebutkan dalam hadits,
di antaranya berjalan kaki menuju shalat berjama’ah – maka ia hidup
dengan baik dan mati dengan baik pula.”
Betapa besar jaminan ini!
Kehidupan yang baikdan kematian yang baik. siapakah yang menjanjikan hal
itu? Dia-lah Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada seorangpun yang lebih
menepati janji selain Dia.
4. Berjalan menuju shalar berjama’ah termasuk salah satu sebab dihapuskannya kesalahan-kesalahan dan ditinggikannya derajat.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Maukah aku
tunjukkan kepada kalian tentang perkara yang akan menghapuskan
kesalahan-kesalahan dan juga mengangkat beberapa derajat?” Para sahabat
menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,”Menyempurnakan
wudhu’ pada saat yang tidak disukai, banyak melangkah ke masjid-masjid,
dan menunggu shalat setelah melaksanakan shalat. Maka, itulah ar-tibath
(berjuang di jalan Allah).” (HR. Muslim).
Ar-ribath pada asalnya
-sebagaimana dikatakan oleh al Imam Ibnul Atsir–adalah berdiri untuk
berjihad untuk memerangi musuh, mengikat kuda dan menyiapkannya. Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menyerupakan dengannya apa yang telah
disebutkan berupa amal-amal shalih dan peribadahan dengannya.
Penyerupaan ini juga menegaskan besarnya kedudukan tiga amalan yang
tersebut didalam hadits, di antaranya banyak melangkah ke masjid.
Keutaman ini juga berlaku
untuk seseorang yang melangkah keluar dari masjid, Imam Ahmad
rahimahullah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma, ia
mengatakan,”Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Barangsiapa
yang pergi menuju masjid untuk shalat berjama’ah, maka satu langkah akan
menghapuskan satu kesalahan dan satu langkah lainnya akan ditulis
sebagai satu kebajikan untuknya, baik ketika pergi maupun pulangnya.” (HR. Ahmad, hadits ini shahih).
5. Pahala orang
yang keluar dalam keadaan suci (telah berwudhu) untuk melaksanakan
shalat berjama’ah seperti pahala orang yang melaksanakan haji dan umrah.
Imam Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan , dari sahabat Abu Umamah radhiallahu anhu. Ia mengatakan
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya menuju masjid dalam keadaan bersuci (telah
berwudhu’) untuk melaksanakan shalat fardhu (berjama’ah), maka pahalanya
seperti pahala orang yang melaksanakan haji dan ihram.” (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Zainul ‘Arab mengatakan dalam menjelaskan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “Seperti pahala orang yang melaksanakan haji dan ihram,” “Yakni, pahalanya sempurna.” (‘Aunul Ma’buud II/357)
Allaahu Akbar, jika
sedemikian besarnya pahala orang yang keluar untuk menunaikan shalat
berjama’ah , maka bagaimana halnya pahala melakukan shalat berjama’ah?
6. Orang yang keluar (menuju masjid) untuk melaksanakan shalat berjama’ah berada dalam jaminan Allah Ta’ala.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam menjelaskan bahwa orang yang keluar menuju shalat berjama’ah
berada dalam jaminan Allah Ta’ala. Imam bu Dawud rahimahullah
meriwayatkan dari Abu Umamah radhiallahu anhu, dari Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau bersabda:
“Ada tiga
golongan yang semuanya dijamin oleh Allah Ta’ala, yaitu orang yang
keluar untuk berperang di jalan Allah, maka ia dijamin oleh Allah hingga
Dia mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam Surga atau
mengembalikannya dengan membawa pahala dan ghanimah, kemudian orang yang
pergi ke masjid, maka ia dijamin oleh Allah hingga Dia mewafatkannya
lalau memasukkannya ke dalam Surga atau mengembalikannya dengan membawa
pahala, dan orang yang masuk rumahnya dengan mengucapkan salam, maka ia
dijamin oleh Allah.” (HR. Abu Dawud, di shahihkan oleh syaikh al Albani)
7. Orang yang keluar untuk melaksanakan shalat berjama’ah berada dalam shalat hingga kembali ke rumah.
Imam Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia
mengatakan,”Abul Qasim Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Jika salah
seorang dari kalian berwudhu’ di rumahnya, kemudian datang ke masjid,
maka ia berada dalam shalat hingga ia kembali. Oleh karenanya, jangan
mengatakan demikian-seraya menjaringkann diantara jari-jemarinya-.” (HR. Ibnu Khuzaimah, di shahihkan oleh Syaikh al Albani)
8. Kabar gembira
bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan (untuk melaksanakan shalat
berjama’ah) dengan memperoleh cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.
Imam Ibnu Majah
meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as Sa’di radhiallahu anhu, ia
mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Hendaklah
orang-orang yang berjalan di kegelapan menuju masjid bergembira dengan
(mendapatkan) cahaya yang sempurna pada hari Kiamat.” (HR.Ibnu Majah, syaikh al Albani menilainya shahih)
Ath Thayyibi rahimahullah
mengatakan,” Tentang disifatinya cahaya dengan kesempurnaan dan
pembatasannya dengan (terjadinya di) hari Kiamat, mengisyaratkan kepada
wajah kaum mukminin pada hari Kiamat, sebagaimana dalam firman Allah:
“Sedang cahaya
mereka memancar dihadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan,’Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami.’” (QS. At Tahriim:8) (dinukil dari ‘Aunul Ma’buud II/268)
Disampaing itu Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kepada semua pihak agar
memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di kegelapan
menuju masjid dengan kabar gembira yang besar ini. Imam Abu Dawud
meriwayatkan dari Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang berjalan di kegelapan menuju masjid
dengan cahay (yang akan diperolehnya) pada hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud, di shahihkan oleh Syaikh al Albani)
Al-‘Allamah ‘Abdur Ra-uf al Munawi rahimahullah menjelaskan hadits ini, “Ketika
mereka berjalan dalam kesulitan karena senantiasa berjalan dalam
kegelapan malam menuju ketaatan, maka mereka diberi balasan berupa cahay
yang menerangi mereka pada hari Kiamat.” (Faidhul Qadiir III/201).
9. Allah menyiapkan persinggahan di Surga bagi siapa yang pergi menuju masjid atau pulang (darinya).
Di riwayatkan dari asy Syaikhan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau bersabda:
“Barangsiapa
yang pergi ke masjid dan pulang (darinya), maka Allah menyiapkan
untuknya persinggahan di Surga setiap kali pergi dan pulang.” (Muttafaq ‘alaih, lafazh ini milik Bukhari).
Jika persinggahan orang
yang pergi menuju masjid atau pulang darinya disiapkan oleh Allah, Rabb
langit dan bumi serta Pencipta alam semesta seluruhnya, maka bagaimana
persingahan itu??
C. Orang Yang Datang ke Masjid adalah Tamu Allah Ta’ala
Di antara apa yang menunjukkan keutamaan
shalat berjama’ah di masjid adalah apa yang dijelaskan oleh Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa orang yang datang ke masjid adalah
tamu Allah Ta’ala, dan yang dikunjungi wajib memuliakan tamunya. Imam
ath Thabrani meriwayatkan dari Salman radhiallahu anhu bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang berwudhu’ di
rumahnya dengan sempurna kemudian mendatangi masjid, maka ia adalah
tamu Allah, dan siapa yang di kunjunginya wajib memuliakan tamunya.” (HR. ath Thabrani)
Bagaimana cara Allah
memuliakan tamu-Nya, sedangkan Dia adalah Rabb yang paling Pemurah,
Penguasa langit dan bumi? Para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam juga menegaskan hal ini. Imam Ibnul Mubarak rahimahullah
meriwayatkan dari ‘Amr bin Maimun, ia mengatakan, “Para sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengatakan,’Rumah Allah di bumi
adalah masjid, dan Allah wajib memuliakan siapa yang mengunjungi-Nya di
dalamnya.’” (Kiitab az Zuhd)
D. Allah Ta’ala Bergembira dengan Kedatangan Hamba-Nya ke Masjid untuk Melaksanakan Shalat Berjama’ah
Imam Ibnu Khuzaimah
meriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu anhu, ia mengatakan bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Tidaklah salah
seorang dari kalian berwudhu’ dengan baik dan sempurna kemudian
mendatangi masjid, ia tidak menginginkan kecuali shalat di dalamnya,
melainkan Allah bergembira kepadanya sebagaimana keluarga orang yang
pergi jauh bergembira dengan kedatangannya.” (HR.Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh Syaikh al Albani)
Imam Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan,”Al
Bassyu adalah kegembiraan kawan dengan kawannya, lemah lembut dalam
persoalan dan penyambutannya. Ini adalah permisalan yang dibuat tentang
penyambutan Allah kepadanya dengan karunia-Nya, mendekatkannya
(kepadanya) dan memuliakannya.” (An-Nihaayah fii Ghariibil Hadits wal
Atsar I/130).
E. Keutamaan Menunggu Shalat
Orang yang duduk menunggu
shalat, maka ia berada dalam shalat dan Malaikat memohonkan ampunan
serta memohonkan rahmat untuknya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda:
“Salah seorang
dari kalian duduk untuk menunggu shalat, maka ia berada dalam shalat
selagi belum berhadats, dan para Malaikat berdo’a untuknya:’Ya Allah!
Berikanlah ampunan kepadanya, ya Allah! Rahmatilah ia’.” (HR. Muslim).
***
[1]. Lihat dalam Shahih al-Bukhari (IV/208) Kitab Fadhaa-ilush
Shahaabatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Manaaqibu ‘Ali bin
Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan Shahih Muslim (IV/2091) Kitaa-budz
Dzikri wad Du’aa-i wat Taubati wal Istighfaari bab at-Tasbiihu Awwalan
Nahaari wa ‘inda Naumi, dari ‘Ali Radhiyallahu anhu.[2]. Al-Waabilush Shayyib (hal. 164-165) oleh Ibnul Qayyim, dengan diringkas.
[3]. Ibid, hal. 165-167.
[4]. Lihat Al Wabil Ash Shayyib Wa Rafi’ Al Kalimi Ath Thayyib, karya
Ibnul Qayyim, tahqiq Hasan Ahmad Isbir, Cetakan pertama, Tahun 1997-1418
H, Dar Ibnu Hazm, Bairut, Libanon, hlm. 69-141.
[5]. Hadits riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya (4/202), At Tirmidzi
dalam Sunan-nya, kitab Al Amtsal ‘An Rasulullih, Bab Ma Ja’a Fi Matsal
Ash Shalat Wal Shiyaam Wal Shadaqah, no. 2863 dan dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1724.
[6]. Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 61.
[7]. Dinukil murid beliau Ibnul Qayim dalam Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 70.
[8]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya 5/239 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 5644.
[9]. Hadits riwayat Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Badi’ Al Khalq,
Bab Sifat Iblis Wa Junuduhu, no. 3293; Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ad
Du’a Wa Dzikir Wa Taubah Wal Istighfar, Bab Fadhlu At Tahlil Wa Takbir
Wa Tahmid, no. 2691; At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Al Da’awat ‘An
Ar Rasul, Bab Ma Ja’a Fi Fadhl Tasbiih Wa Tahlil Wa Takbir Ta Tahmid,
no.3390.
[10]. Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 73.
[11]. Lihat Al Wabil Ash Shayyib, hlm. 73-74; Fiqh Al Ad’iyah Wal
Adzkar, hlm. 19-20 dan Dzikru Wa Tadzkiir, karya Syaikh Prof. Dr. Shalih
bin Ghanim As Sadlan, Cetakan kedua, tahun 1415 H, Dar Al Balansiyah,
Riyadh, KSA, hlm.8.
12]. Hadits riwayat At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ad Da’awat ‘An
Ar Rasul, Bab Ma Ja’a Fi Fadhl Tasbih Wa Tahlil Wa Takbir Wa Tahmid,
no.3462, dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 105.
Sumber : Almanhaj.or.id & Web Al-Ustadz Abu Zubair Hafidzahullah