Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (Qs. al-Kahfi: 46).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan
anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang
hamba dalam kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hal ini
dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (Qs. at-Taghaabun: 14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah
melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke
dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[1].
Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata,
“…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan
anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan
hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka
menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang
dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk
(selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan
keridhaan-Nya…”[2].Kewajiban mendidik anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban
mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya) ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu.”[3]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api
neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua
perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara
istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan
mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk
(melaksanakan) perintah Allah. Maka, seorang hamba tidak akan selamat
(dari siksaan neraka), kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan
perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada
orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya.”[4]Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiallahu ‘anhu masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah r dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[5] Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.[6]
Metode pendidikan anak yang benar
Agama Islam yang sempurna telah
mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya
setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia
dilahirkan ke dunia ini.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).“[7]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan.”[8]
Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras
untuk memalingkan manusia dari jalan Allah sejak mereka dilahirkan ke
dunia, padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya
dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya
kalau dia telah mengenal semua godaan tersebut?[9]
Maka, di sini terlihat jelas fungsi utama
syariat Islam dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang
diajarkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berhubungan dengan kelahiran seorang anak.[10]
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca
doa:بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki[11] yang Engkau anugerahkan kepada kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa
tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan
tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut
selamanya“[12].
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat Islam
merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang ini
berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan
pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin berkata, “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah, serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4)[13].
Pembinaan rohani dan jasmani
Cinta yang sejati kepada anak tidaklah
diwujudkan hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup
mereka. Akan tetapi, yang lebih penting dari semua itu pemenuhan
kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang
bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya,
karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan
di akhirat nanti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi-Nya Ya’qub ‘alaihissalam yang
sangat mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya, sehingga pada
saat-saat terakhir dari hidup beliau, nasehat inilah yang beliau
tekankan kepada mereka. Allah berfirman,أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya.’” (Qs. al-Baqarah: 133).
Renungkanlah teladan agung dari Nabi
Allah yang mulia ini, bagaimana beliau menyampaikan nasihat terakhir
kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan agama Allah[14], yang
landasannya adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-semata
(tauhid) dan menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan
makhluk). Di mana kebanyakan orang pada saat-saat seperti ini justru
yang mereka utamakan adalah kebutuhan duniawi semata-mata; apa yang kamu
makan sepeninggalku nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu?
Dari mana kamu akan mendapat penghasilan yang cukup?
Dalam ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqmaan: 13).
Lihatlah bagaimana hamba Allah yang
shalih ini memberikan nasihat kepada buah hati yang paling dicintai dan
disayanginya, orang yang paling pantas mendapatkan hadiah terbaik yang
dimilikinya, yang oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali
disampaikannya untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah
(mentauhidkan) Allah semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik.[15]
Manfaat dan pentingnya pendidikan anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya– berkata, “Salah seorang ulama berkata, ‘Sesugguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat (nanti) akan meminta pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula) anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka, sebagaimana Allah berfirman,وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْناً
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya.” (Qs. al-’Ankabuut: 8).
(Demikian juga) Allah berfirman,
قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. at-Tahriim: 6).
…Maka, barangsiapa yang tidak mendidik
anaknya (dengan pendidikan) yang bermanfaat baginya dan membiarkannya
tanpa bimbingan, maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar
terhadap anaknya tersebut. Mayoritas kerusakan (moral) pada anak-anak
timbulnya (justru) karena (kesalahan) orang tua sendiri, (dengan) tidak
memberikan (pengarahan terhadap) mereka, dan tidak mengajarkan kepada
mereka kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran (dalam) agama. Sehingga
karena mereka tidak memperhatikan (pendidikan) anak-anak mereka sewaktu
kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa melakukan kebaikan untuk diri
mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak bisa melakukan kebaikan
untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia. Sebagaimana
(yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka
(kepadanya), maka anak itu menjawab, ‘Wahai
ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak
mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau
tua, karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil maka akupun
menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua.’”[16]
Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak,
“إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك”
“Sungguh, seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya, ‘Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?’ Maka, dikatakan padanya, ‘(Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.’“[17]
Sebagian dari para ulama ada yang
menerangkan makna hadits ini yaitu, bahwa seorang anak jika dia
menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada ayahnya di surga
(nanti), maka dia akan meminta (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti kedudukannya), sehingga
Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya.[18]
Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak shalih yang selalu mendoakannya.”[19]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal
kebaikan yang dilakukan oleh anak yang shalih pahalanya akan sampai
kepada orang tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena
anak termasuk bagian dari usaha orang tuanya[20]. Adapun penyebutan
“doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang
akan sampai kepada orangtuanya[21], tapi tujuannya adalah untuk
memotivasi anak yang shalih agar selalu mendoakan orang tuanya[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Semua pahala) amal kebaikan yang
dilakukan oleh anak yang shalih, juga akan diperuntukkan kepada kedua
orang tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut,
karena anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Qs. an-Najm: 39).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh, sebaik-baik (rezeki) yang dimakan oleh seorang
manusia adalah dari usahanya sendiri, dan sungguh anaknya termasuk
(bagian) dari usahanya.”[23]
Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan dalam hadits-hadist
(lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya manfaat (pahala) amal
kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh kepada orang tuanya,
seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang semisalnya.…”[24]Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi
motivasi bagi kita untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita,
utamanya pendidikan agama mereka, karena pada gilirannya semua itu
manfaatnya untuk kebaikan diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Jumadal akhir 1430 H
Abdullah bin Taslim al-ButhoniKota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Jumadal akhir 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
_______________________________
[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[4] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[5] HSR. al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[6] Fathul Baari (3/355).
[7] HSR. Muslim (no. 2865).
[8] HSR. Muslim (no. 2367).
[9] Lihat kitab “Ahkaamul Mauluud Fis Sunnatil Muthahharah” (hal. 23).
[10] Ibid (hal. 24).
[11] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[12] HSR. al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[13] Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimiin (4/14).
[14] Lihat keterangan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (6/414).
[15] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/586).
[16] Kitab “Tuhfatul Mauduud Biahkaamil Mauluud” (hal. 229).
[17] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah” (no. 1598). Ketika mengomentari hadits ini al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/339) berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan menikah, kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya)”.
[18] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[19] HSR. Muslim (no. 1631).
[20] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[21] Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “doa anak yang shalih”, tapi yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “… anak shaleh yang selalu mendoakannya“, artinya: semua amal kebaikan anak yang shalih pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[22] Lihat kitab “Ahakaamul Janaaiz” (hal. 223).
[23] HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[24] Kitab “Ahakaamul Janaaiz” (hal. 216-217).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[4] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[5] HSR. al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[6] Fathul Baari (3/355).
[7] HSR. Muslim (no. 2865).
[8] HSR. Muslim (no. 2367).
[9] Lihat kitab “Ahkaamul Mauluud Fis Sunnatil Muthahharah” (hal. 23).
[10] Ibid (hal. 24).
[11] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[12] HSR. al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[13] Kutubu Wa Rasaa-ilu Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimiin (4/14).
[14] Lihat keterangan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (6/414).
[15] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/586).
[16] Kitab “Tuhfatul Mauduud Biahkaamil Mauluud” (hal. 229).
[17] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah” (no. 1598). Ketika mengomentari hadits ini al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/339) berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan menikah, kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaannya)”.
[18] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[19] HSR. Muslim (no. 1631).
[20] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[21] Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “doa anak yang shalih”, tapi yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “… anak shaleh yang selalu mendoakannya“, artinya: semua amal kebaikan anak yang shalih pahalanya akan sampai kepada orang tuanya.
[22] Lihat kitab “Ahakaamul Janaaiz” (hal. 223).
[23] HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[24] Kitab “Ahakaamul Janaaiz” (hal. 216-217).
0 komentar:
Posting Komentar