Kalimat “takwa” sangat sering kita
dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini mudah dan
ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat
ini terwujud dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya ciri-ciri
orang yang bertakwa yang disebutkan dalam ayat berikut ini terealisasi
dalam diri kita?
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ، وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا
وَهُمْ يَعْلَمُونَ}
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui” (QS Ali
‘Imran:134-135).
Maka mempraktekkan kalimat ini tidak semudah
mengucapkannya, khususnya kalau kita mengetahui bahwa takwa yang
sebenarnya adalah amalan hati dan bukan sekedar apa yang tampak pada
anggota badan.
Rasulullah bersabda: “Takwa itu terletak di sini”, sambil beliau menunjuk ke dada/hati beliau tiga kali[1].
Di sinilah letak sulitnya merealisasikan takwa yang
hakiki, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah, karena
kalau anggota badan mudah kita kuasai dan tampakkan amal baik padanya,
maka tidak demikian keadaan hati, sebab hati manusia tidak ada
seorangpun yang mampu menguasainya kecuali Allah. Allah berfirman:
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ}
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi (menghalangi) antara manusia dan hatinya” (QS al-Anfaal:24).
Dan Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya semua hati
manusia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah ),
seperti hati yang satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut
sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian Rasulullah berdoa: “Wahai Allah
Yang membolak-balikkan hati (manusia), palingkanlah hati kami untuk
(selalu) taat kepad-Mu”[2].
Takwa yang hakiki
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui
tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan
keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota
badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan
takwa (pada) anggota badan (saja). Allah berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang
mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati” (QS al-Hajj:32).
(Dalam ayat lain) Allah berfirman:
{لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ}
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwan dari kamulah yang
dapat mencapainya” (QS al-Hajj:32).
Dan Rasulullah bersabda:
((التقوى ههنا)) ويشير إلى صدره ثلاث مرات.
Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadits di
atas, berkata: “Artinya: sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada
anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki
pada diri seseorang), akan tetapi takwa (yang sebenarnya) terwujud pada
apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan
dan (selalu) merasakan pengawasan Allah “[5].
Makna takwa yang hakiki di atas sangatlah jelas,
karena amal perbuatan yang tampak pada anggota badan manusia, tidak
mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah semata. Lihatlah misalnya
orang-orang munafik di jaman Rasulullah , mereka menampakkan Islam
secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum
muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian
yang besar terhadap agama Islam. Allah berfirman:
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ
خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ
النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً}
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan
Allah membalas tipu daya mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan malas-malasan, mereka bermaksud riya’/pamer
(dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut nama
Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An-Nisaa’:142).
Demikianlah keadaan manusia dalam mengamalkan agama
Islam secara lahir, tidak semua bertujuan untuk mencari ridha-Nya.
Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan Islam hanya ketika
dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya, dan ketika dirasakan tidak
ada manfaatnya maka dia langsung berpaling dari agama Islam.
Mereka inilah yang dimaksud dalam firman Allah :
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ
أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ
عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ
الْمُبِينُ}
“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada
Allah dengan berada di tepi (untuk memuaskan kepentingan pribadi), jika
mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia akan senang, dan jika ia
ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat, berbaliklah ia ke belakang
(berpaling dari agama). Rugilah dia di dunia dan akhirat, yang demikian
itu adalah kerugian yang nyata” (QS al-Hajj:11).
Artinya: Dia masuk ke dalam agama Islam pada tepinya
(tidak sepenuhnya), kalau dia mendapatkan apa yang diinginkannya maka
dia akan bertahan, tapi kalau tidak didapatkannya maka dia akan
berpaling[6].
Beberapa contoh pengamalan takwa yang hakiki
Beberapa contoh berikut ini merupakan pengamalan takwa
yang hakiki, karena dilakukan semata-semata karena mencari ridha Allah
dan bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan hawa nafsu.
1- Firman Allah :
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ}
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain” (QS Ali ‘Imran:134).
Ketiga perbuatan ini, berinfak/bersedekah dalam
keadaan lapang maupun sempit, menahan kemarahan di saat kita mampu
melampiaskannya dan memaafkan kesalahan orang yang berbuat salah kepada
kita, adalah perbuatan yang bersumber dari ketakwaan hati dan bersih
dari kepentingan pribadi serta memperturutkan hawa nafsu.
2- Firman Allah :
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).
Imam Ibnul Qayyim membawakan ucapan seorang ulama
salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata: “Orang
yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak
menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka
kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran”[7].
Kebanyakan orang bisa bersikap baik dan adil kepada
orang lain ketika dia sedang senang dan ridha kepada orang tersebut,
karena ini sesuai dengan kemauan hawa nafsunya. Tapi sikap baik dan adil
meskipun dalam keadaan marah/benci kepada orang lain, hanya mampu
dilakukan oleh orang yang memiliki ketakwaan dalam hatinya.
3- Doa yang diucapkan Rasulullah dalam sebuah hadits yang shahih:
اللهم وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب وأسألك القصد في الفقر والغنى
“Ya Allah, aku minta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di
waktu sendirian maupun di hadapan orang lain, dan aku minta kepada-Mu
ucapan yang benar dalam keadaan senang maupun marah, dan aku minta
kepada-Mu kesederhanaan di waktu miskin maupun kaya”[8].
Takut kepada Allah di waktu sendirian, ucapan yang
benar dalam keadaan marah dan sikap sederhana di waktu kaya hanya bisa
dilakukan oleh orang yang memiliki takwa dalam hatinya.
4- Ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Raazi[9]:
“Cinta karena Allah yang hakiki adalah jika kecintaan itu tidak
bertambah karena kebaikan (dalam masalah pribadi/dunia) dan tidak
berkurang karena keburukan (dalam masalah pribadi/dunia)”[10].
Cinta yang dipengaruhi dengan kebaikan/keburukan yang
bersifat duniawai semata bukanlah cinta yang dilandasi ketakwaan dalam
hati.
Kiat untuk mencapai takwa yang hakiki
Berdasarkan keterangan para ulama
ahlus sunnah, satu-satu cara untuk mewujudkan ketakwaan dalam hati,
setelah berdoa kepada Allah , adalah dengan melakukan tazkiyatun nufus
(pensucian jiwa/pembersihan hati), karena ketakwaan kepada Allah yang
sebenarnya (ketakwaan dalam hati) tidak akan mungkin dicapai kecuali
dengan berusaha mensucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran
yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah .
Allah Menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
{وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan
ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan
kefasikan)” (QS Asy Syams:7-10).
Demikian juga sabda Rasulullah dalam doa beliau : “Ya
Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku
(dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya”[11].
Imam Maimun bin Mihran[12] berkata: “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa (yang hakiki) sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi
(introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa) yang
lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu
dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang), oleh karena itu ada yang
mengatakan: jiwa manusia itu ibaratnya seperti sekutu dagang yang suka
berkhianat, maka kalau anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi
membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)”[13].
Ketika menerangkan pentingnya pensucian jiwa ini, Imam
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan
(untuk mencari keridhaan) Allah , meskipun jalan dan metode yang mereka
tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa
nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai
kepada (ridha) Allah , (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai
(kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan
menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)”[14].
Kemudian, pensucian jiwa yang benar hanyalah dapat
dicapai dengan memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah .
Allah menjelaskan salah satu fungsi utama
diturunkannya Al Qur-an, yaitu membersihkan hati dan mensucikan jiwa
manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, dalam firman-Nya:
{أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ
بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَداً رَابِياً وَمِمَّا يُوقِدُونَ
عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ
كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ
فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي
الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ}
“Allah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka aliran air itu itu membawa
buih yang mengambang (di permukaan air). Dan dari apa (logam) yang
mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu.Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih, akan hilang
sebagai sesuatu yang tidak berguna; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan” (QS. Ar Ra’d:17).
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim
berkata: “(Dalam ayat ini) Allah mengumpamakan ilmu yang diturunkan-Nya
kepada Rasul-Nya dengan air (hujan), karena keduanya membawa kehidupan
dan manfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat.
Kemudian Allah mengumpamakan hati manusia dengan lembah (sungai, danau
dan lain-lain), hati yang lapang (karena bersih dari kotoran) akan mampu
menampung ilmu yang banyak sebagaimana lembah yang luas mampu menampung
air yang banyak, dan hati yang sempit (karena dipenuhi kotoran) hanya
mampu menampung ilmu yang sedikit sebagaimana lembah yang sempit hanya
mampu menampung air yang sedikit, Allah berfirman: “…Maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannya (daya tampungnya)”. (Kemudian
Allah berfirman): “…Maka aliran air itu itu membawa buih yang mengambang
(di permukaan air)”, ini adalah perumpamaan yang Allah sebutkan bagi
ilmu (wahyu dari-Nya) ketika kemanisan ilmu tersebut masuk dan meresap
ke dalam hati manusia, maka ilmu tersebut akan mengeluarkan
(membersihkan) dari hati manusia buih (kotoran) syubhat
(kerancuan dalam memahami dan mengamalkan agama) yang merusak sehingga
kotoran tersebut akan mengambang (tidak menetap) di permukaan hati,
sebagaimana aliran air akan mengeluarkan kotoran dari lembah sehingga
kotoran tersebut akan mengambang di permukaan air. Dan Allah
mengabarkan bahwa kotoran tersebut mengambang dan mengapung di atas
permukaan air, tidak menetap (dengan kuat) di atas tanah. Demikian pula
(keadaan kotoran) syubhat yang rusak ketika ilmu mengeluarkan (membersihkan)nya (dari hati), syubhat
tersebut akan mengambang dan mengapung di atas permukaan hati, tidak
menetap dalam hati, bahkan (kemudian) akan dibuang dan disingkirkan
(dari hati), sehingga (pada akhirnya) yang menetap pada hati tersebut
adalah petunjuk (ilmu) dan agama yang benar (amal shaleh) yang
bermanfaat yang bermanfaat bagi orang tersebut dan orang lain,
sebagaimana yang akan menetap pada lembah adalah air yang jernih dan
buih (kotoran) akan tersingkirkan sebagai sesuatu yang tidak berguna.
Tidaklah mampu (memahami) perumpaan-perumpaan dari Allah kecuali
orang-orang yang berilmu”[15].
Kemudian Rasulullah lebih mempertegas perumpaan di
atas dalam sabda beliau: “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu
yang Allah wahyukan kepadaku seperti air hujan (yang baik) yang Allah
turunkan ke bumi…”[16].
Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” membawakan
ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini: “Rasulullah
membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah ) seperti
air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat)
membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya
Rasulullah , maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan
(baru) bagi negeri yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu
agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…”[17].
Oleh karena itulah, imam Ibnul Jauzi disela-sela
sanggahan beliau terhadap sebagian orang-orang ahli tasawuf yang
mengatakan bahwa ilmu tentang syariat Islam tidak diperlukan untuk
mencapai kebersihan hati dan kesucian jiwa, beliau berkata: “Ketahuilah
bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih, akan
tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka
(pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu
adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama untuk memahami dan
mengamalkannya)”[18].
Penutup
Setelah membaca tulisan di atas, jelaslah bagi kita
bagaimana pentingnya mengkaji dan memahami ilmu agama, karena inilah
satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam agama, yaitu
ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau
kita dapati para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia
terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap semua
kebutuan pokok dalam kehidupan mereka.
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam
ahlus Sunnah di jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia
terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang terkenal: “Kebutuhan
manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka
terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau
dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan
hitungan nafas manusia (setiap waktu)[19].
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
KotaRasulullah , 13 Ramadhan 1430 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] HSR Muslim (no. 2564).
[2] HSR Muslim (no. 2654).
[3] HSR Muslim (no. 2564).
[4] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 185).
[5] Kitab “syarh shahih Muslim” (16/121).
[6] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/281).
[7] Kitab “ar-Risalatut tabuukiyyah” (hal. 33).
[8] HR an-Nasa-i (3/54) dan Ahmad (4/264), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[9] Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (13/15).
[10] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-’Asqalaani dalam “Fathul Baari” (1/62).
[13] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 147- Mawaaridul amaan).
[14] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 132 – Mawaaridul amaan).
[15] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/61).
[16] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[17] Fathul Baari (1/177).
[18] Kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).
[19] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/61) dan (1/81).
Sumber : www.manisnyaiman.com
0 komentar:
Posting Komentar