Oleh
Dr. Fadhl Ilahi
Termasuk
di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah
Yang Mahaesa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Insya Allah kita
akan membicarakan hal ini melalui tiga hal :
Pertama, yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.
Kedua, dalil syar’i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk diantara kunci-kunci rizki.
Ketiga, apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha ?
Pertama, Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para
ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah
menjelaskan makna tawakkal. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau
berkata : “Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata”.(Ihya’ Ulumid Din, 4/259).
Al-Allamah Al-Manawi berkata :”Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali”(Faidhul Qadir, 5/311).
Menjelaskan
makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali
Al-Qari berkata : “Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak
ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap
yang ada, baik mahluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya
atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau
mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah”. (Murqatul Mafatih, 9/156).
Kedua, Dalil Syar’i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam
Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim,
Al-Qudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar
tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki
burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang”.1
Dalam
hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki. Betapa
tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Mahahidup,
Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya,
niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman.
“Artinya
: Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki0Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu”. (Ath-Thalaq : 3).
Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi’ bin Khutsaim mengatakan : “(Mencukupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia” (Syarhus Sunnah, 14/298).
Ketiga, Apakah Tawakkal Itu Berarti Meninggalkan Usaha?
Sebagian
orang mungkin ada yang berkata :”Jika orang yang bertawakkal kepada
Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan
mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan
bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit ?”
Perkataan
itu sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang
hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang
bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari
untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak
memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau
pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang
Mahaesa dan Yang kepadanya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama
-semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah
memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau
berkata : “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan
meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang
menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa
seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan
dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di
TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan
mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut”.(Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/8).
Imam
Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di
rumah atau di masjid seraya berkata, ‘Aku tidak mau bekerja sedikitpun,
sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau berkata, ‘Ia adalah
laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku”
Dan beliau bersabda.
“Artinya
: Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar
tawakkal, niscaya Allah meberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya
kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang
sore hari dalam keadaan kenyang”.
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata, ‘Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita. (Dinukil dari Fathul Bari, 11/305-306).
Syaikh
Abu Hamid berkata :”Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakkal
adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan
dengan akal serta menjatuhkaan diri di atas tanah seperti sobekan kain
yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong
daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram
menurut hukum syari’at. Sedangkan sya’riat memuji orang yang
bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin suatu derajat ketinggian dalam
agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula.?
Hakikat
yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, ‘Sesungguhnya
pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika
bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya”.
Imam Abul Qasim Al-Qusyairi :”Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah maka hali itu tida bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdirNya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya” (Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157).
Diantara
yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti
meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban
dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Artinya
: Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku
lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah” 2
Dan dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan.
“Artinya
: Amr bin Umayah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai
Rasulullah !!, Apakah aku ikat dhulu unta (tunggangan)-ku lalu aku
bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku
bertawakkal ? ‘Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu
bertawakkallah”. (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,
1/368).
Kesimpulan
dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan
usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah,
bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya
saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan
usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik
Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
Disalin
dari buku Mafatihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr
Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur’an
dan As-Sunah hal. 28 – 35 terbitan Darul haq, penerjemah Ainul Haris
Arifin Lc
Fote Note
-
Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304; Jami’ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, Bab Fit Tawakkal ‘Alallah, no. 2344, no 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya ; Sunan Ibni Majah, Abwabuz Zuhd, At-Tawakkul wal Yaqin, no 4216, 2/419; Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-Mubarak, juz IV, Bab At-Tawakkul wat Tawaddhu’ no. 559, hal 196-197 ; Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Wara’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar ‘amma Yajibu ‘alal Mar’i min Qath’il Qulubi ‘anil Khala’iqi bi Jami’il Ala’iqi fi Ahwalihi wa Asbabihi no. 730, 2/509 ; Al-Mustadzrak ‘ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318 ; Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum Tatawakkaluna ala’ Allah Haqqa Tawakkulihi no. 1444, 2/319 ; Syarhus Sunnah oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaa, Bab At-Tawakkul ‘ala Allah ‘Aza wa Jalla no. 4108, 14/301. Imam At-Tirmidzi berkata, Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengatahuinya kecuali dari sisi ini (Jami’ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, 4/318). Imam Al-Baghawi berkata, Ini adalah hadist hasan. (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir. (Lihat, Hamisyul Musnad, 1/234). Serta Syaikh Al-Albani menshahihkannya, (Lihat, Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz III/12).
-
Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Warra’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bin Annal Mar’a Yajibu Alaihi Ma’a Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A’dha Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya ; Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma’rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah Radhiyallahu ‘anhu, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, Sanad hadist ini ‘jayyid’. (At-Talkhis, 3/623). Al-hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Majmau’z Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 10/303. Beliau berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa haditsnya adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya’kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit, 10/303)
0 komentar:
Posting Komentar